Skip to main content

Mengenal Wislawa Szymborska



Saya mengenal Wislawa Szymborska sekitar dua tahun lalu dari seorang kawan yang mengirim puisi karya beliau. Saya langsung jatuh cinta setelah membaca salah satu puisinya yaitu Under One Small Star. Permainan bahsanya sungguh menraik dan pemilihan diksi dan frasa yang indah mebuat saya tak pernah bosan terus membacanya. Setelahnya saya mencari tahu lebih banyak tentang beliau dan terus membaca puisi-puisinya.

Wislawa Szymborska adalah penulis kebangsaan Polandia yang lahir pada 2 Juli 1923. Beliau menerima penghargaan Nobel sastra pada tahun 1996 yang membuat dirinya semakin dikenal luas di dunia. Karya banyak diterjemahkan keberbagai bahasa dari bahasa aslinya Polandia. Beliau mulai menulis sejak 1940an saat dia bekerja sebagai karyawan di perusahaan kereta apii di Kraków, Polandia. Saat itu Eropa sedang berkecamuk Perang Dunia II. Di awal karir kepenulisannya beliau banyak menulis tentang tema politik dan komunisme di Eropa. Beliau memakai nama pena sebagai nama samara agar tidak dikenali. Sampai akhirnya dia bekerja disebuah surat kabar yang menempatkannya di lingkungan orang-orang yang sangat liberal dan anti komunis pada saat itu. Lantaran aturan-perang pada awal 1980, Wislawa menerbitkan kumpulan puisi bawah tanah. Padahal sejak rezim Stalin pecah di awal 1950, Szymborska dengan gigih telah menolak puisi yang dikuasai ideologi, dan sebagai gantinya ia pun menggunakan kekuatan observasinya untuk mengatasasi setiap pokok persoalan.

Pada perjalanan karir kepenulisannya, Wislawa Szymborska semakin meninggalkan tema – tema politik secara gamblang dan tersurat. Beliau lebih banyak mengangkat tema-tema universal dan norma-norma humanis dengan tutur bahasa yang tetap indah.

Pada 3 Oktober 1996, Akademi Swedia di Stockhom mengumumkan penerima penghargaan Nobel Sastra adalah Wislawa Szymborska. Penghargaan itu menjadi kejutan bagi Szymborska—juga kebanyakan orang di Polandia—bukan lantaran karena ia dianggap tidak layak, tapi karena puisinya lebih banyak membicarakan tema-tema universal ketimbang urusan politik yang membedakan puisi-puisi Eropa Timur sejak Perang Dunia II.

Tak seperti penyair Polandia terakhir yang meraih Nobel—Czeslaw Milosz pada 1980—Szymborska bukanlah seorang yang lantang, pembangkang zaman komunis; waktu meraih Nobel pun tidak bertepatan dengan momen besar dalam sejarah Polandia—1980 merupakan tahun di mana Gdansk menggalang pemberontakan.
Dan, tak seperti penyair Polandia yang lebih dijagokan untuk menerima Nobel pada 1996, Zbigniew Herbert, puisi-puisi Wislawa lebih dikagumi karena “diksinya dipahat dengan halus,” sebagaimana yang dikemukakan Akademi Swedia, bukan lantaran metafora politiknya yang berat.

Wislawa Szymborska adalah seorang yang menyukai kesunyian dalam hidupnya. Janda tanpa anak ini membutuhkan kesendirian untuk dapat menulis. tidak menyukai kerumunan dan tampil di depan publik, bahkan untuk sekadar membacakan puisinya. Kontak utamanya dengan dunia luar terjadi lewat sebuah kolom koran lama, “Non-Compulsory Reading”. Beliau adalah ‘orang lama’ yang tidak mau menggunakan computer untuk menulis, beliau menulis baik-bait sajaknya dikertas dengan pena. Menurutnya dengan menulisnya langsung menggunakan tangannya sendiri, beliau dapat menyalurkan dengan lancar seluruh ide dan gagasannya serta dapat merasakan maksud yang tersampaikan dari setiap kalimat yang ditulis. Wislawa meninggal pada 1 Februari 2012 lantaran kanker paru-paru.

Berikut ini 3 puisi karya Wislawa Szymborska yang paling saya suka. Selamat Menikmati.

Under One Small Star

My apologies to chance for calling it necessity.
My apologies to necessity if I'm mistaken, after all.
Please, don't be angry, happiness, that I take you as my due.
May my dead be patient with the way my memories fade.
My apologies to time for all the world I overlook each second.
My apologies to past loves for thinking that the latest is the first.
Forgive me, distant wars, for bringing flowers home.
Forgive me, open wounds, for pricking my finger.
I apologize for my record of minuets to those who cry from the depths.
I apologize to those who wait in railway stations for being asleep today at five a.m.
Pardon me, hounded hope, for laughing from time to time.
Pardon me, deserts, that I don't rush to you bearing a spoonful of water.
And you, falcon, unchanging year after year, always in the same cage,
your gaze always fixed on the same point in space,
forgive me, even if it turns out you were stuffed.
My apologies to the felled tree for the table's four legs.
My apologies to great questions for small answers.
Truth, please don't pay me much attention.
Dignity, please be magnanimous.
Bear with me, O mystery of existence, as I pluck the occasional thread from your train.
Soul, don't take offense that I've only got you now and then.
My apologies to everything that I can't be everywhere at once.
My apologies to everyone that I can't be each woman and each man.
I know I won't be justified as long as I live,
since I myself stand in my own way.
Don't bear me ill will, speech, that I borrow weighty words,
then labor heavily so that they may seem light.

Nothing Twice

Nothing can ever happen twice.
In consequence, the sorry fact is
that we arrive here improvised
and leave without the chance to practice.

Even if there is no one dumber,
if you're the planet's biggest dunce,
you can't repeat the class in summer:
this course is only offered once.

No day copies yesterday,
no two nights will teach what bliss is
in precisely the same way,
with precisely the same kisses.

One day, perhaps some idle tongue
mentions your name by accident:
I feel as if a rose were flung
into the room, all hue and scent.

The next day, though you're here with me,
I can't help looking at the clock:
A rose? A rose? What could that be?
Is it a flower or a rock?

Why do we treat the fleeting day
with so much needless fear and sorrow?
It's in its nature not to stay:
Today is always gone tomorrow.

With smiles and kisses, we prefer
to seek accord beneath our star,
although we're different (we concur)
just as two drops of water are.

The Three Oddest Words

When I pronounce the word Future,
the first syllable already belongs to the past.

When I pronounce the word Silence,
I destroy it.

When I pronounce the word Nothing,
I make it something no non-being can hold.

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin buku

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam

Resensi Novel Divortiare

Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama Penulis                 : Ika Natassa Cetakan pertama : 2008 Halaman              : 328 Sinopsis Divortiare dibuka dengan cerita Alexandra Rhea -tokoh sentral novel ini sebagai aku- yang merupakan wanita karir sebagai relationship manager sebuah bank ternama di Jakarta, Alex – begitu ia disapa- baru baru saja pulang dari business trip ke daerah mengunjungi lokasi bisnis salah nasabah perusahaannya.Dalam perjalannanya pulang ke apartemennya ia menelpon Beno Wicaksono, dokter pribadinya, yang juga adalah mantan suaminya sejak dua tahun yang lalu. Alex meminta Beno yang bertugas di sebuah rumah sakit datang ke tempatnya karena ia merasa tidak enak badan semenjak dari tugasnya ke daerah.