Novel klasik ini adalah karya terakhir dari sastrawan Bapak Roman Modern Indonesia", Marah Rusli yang juga menelurkan salah satu roman terbaik Indonesia, Siti Nubaya. Kisah ini diangkat dari kisah yang dialami sendiri oleh si penulis. Bisa dibilang novel ini merupaka semi-autobiogafinya Marah Rusli. Kakek dari Harri Rusli ini menceritakan dengan indah lika liku kehidupannya dari sejak ia kehidupannya remajadi Bukittinggi sampai ia membina kehidupan rumah tangga di tanah pasundan.
Berbeda dengan novel Sitti Nurbaya dengan kasih tak sampainya, kisah ini menceritakan kegigihan seorang Marah Hamli putra dari bangsawan Padang dan Din Wati putri dari bagsawan Pasundan, untuk terus mempertahankan pernikahan mereka yang terlalu banyak cobaan dan kesengsaraannya. Sindiran yang sangat pas sebenarnya untuk pernikahan masa sekarang, terutama untuk beberapa kalangan yang sangat mudah mengatakan kata talak, bahkan hanya dalam hitungan bulan ataupun hari setelah mereka menikah, sangat ironi.
Membaca kisah ini bagaikan mendengar kisah sebelum tidur dari kakek atau nenek buyut yang sangat sarat dengan berbagai pantangan-pantangan, adat budaya, hal-hal mistis, penjajahan, dan peperangan. Ditulis dengan gaya bahasa Indonesia tatanan lama yang baik dan benar, novel ini pun masih nyaman untuk dimengerti.
Bersetting pada awal tahun 1900an, saat masa penjajahan Belanda, saya seperti diajak untuk melihat sejarah dan budaya suku-suku (terutama Minang dan Sunda) di negeri kita masa itu, merasakan bagaimana keras dan carut marutnya adat Minang dengan sistem matrilinealnya saat itu,dan juga dengan kebiasaan perjodohan antara sesama suku Minang, dan apabila seseorang melanggar dengan menikahi suku di luar Minang, maka hal tersebut sangatlah mencoreng kaum kerabatnya dan merupakan suatu kehinaan yang besar. Selain itu sitem poligami yang pada saat itu sangat dianjurkan di masyarakat Minang, hanya karena melihat dari jabatan, pangkat, dan keturunan, maka lelaki Minang bisa "dijemput" oleh perempuan yang ingin menikahinya, dan si lelaki ini tiada bertanggung jawab atas kehidupan istri dan anaknya kelak. Ssementara kelangsungan seorang anak diserahkan kepada Mamak ( adik lelaki dari pihak ibu ), hal ini lah yang mebuat Marah Hamli berpikir out of the box dengan sistem yang ada saat itu, dan ia berani melanggar adat istiadat yang sangat dijunjung kaumnya tersebut untuk mempertahankan biduk rumah tangganya hanya dengan seorang perempuan yang sangat ia sayangi dan cintai.
Novel ini bisa dibilang adalah adalah sindiran berkelas dan bentuk perlawanan yang elegan melalui tulisan dari seorang Marah Roesli kepada kaum kerabatnya di negeri Minangkabau yang terlalu menjunjung adat istiadat negerinya tersebut, yang mana adat tersebut sangat mengganggu biduk rumah tangganya bersama Raden Ratna Kencana. Karena sejak Marah Roesli memutuskan untuk menikahi Raden Ratna Kencana, ia kemudian dibuang dari adat Minang (tidak berhak mendapat hak waris, dan tidak berhak meneruskan garis keturunan sukunya). Walaupun demikian, ada beberapa nilai-nilai adat yang diceritakan di novel ini yang sudah outdated, alias sudah tidah dipakai lagi. Meskipun demikian , novel ini tetap menjadi bacaan wajib bagi generasi sekarang untuk mengetahui perjalanan khasanah budaya kita yang kaya ini. Dan tentu dengan nilai-nilai luhur nan universal menjadi pelajaran yang bisa dipetik bagi kita pembaca zaman sekarang.
Comments
Post a Comment