Penerbit : Balai Pustaka
Penulis : Achdiat K. Mihardja
Cetakan pertama : 1949
Cetakan 26 : 2003
Halaman : 232
Sinopsis
Berkisah mengenai kehidupan kejiwaan dan ideologi seorang pemuda bernama Hasan. Bandung pada zaman pendudukan Belanda dan Jepang menjadi setting novel ini. Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampung bernama Panyeredan di kaki Gunung Talaga Bodas, Garut. Ia dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Islam dan tarekat yang kuat dan kental oleh orangtuanya. Menginjak remaja Hasan bersekolah di MULO (setingkat Sekolah Menengah) di Bandung dan bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Bandung. Disana pula ia berkenalan dengan Rukmini, seorang gadis anak Haji Kosasih yang merupakan saudagar besar di Bandung. Namun orang tua Hasan dan Rukmini tidak merestui hubungan mereka, maka kandaslah hubungan mereka. Kemudian Rukmini dikawinkan dengan anak ‘menak’ saudagar kaya. Hal tersebut membuat hati Hasan tambah hancur. Untuk mengobati sakit hatinya dan mengalihkan pikirannya dari penderitaan berkepanjangan, dia menuntut ilmu tarekat sampai ia benar-benar menjalani kehidupan yang penuh dengan ritual-ritual mistis. Seringkali Hasan mandi tengah malam sungai Cikapundung dan berpuasa seminggu berturut-turut tanpa berbuka demi mengamalkan ajaran tarekatnya.
Waktu bergulir cerita mengalir, saat dia bekerja di dinas pengairan Kota Bandung, tanpa sengaja ia bertemu dengan teman masa kecilnya bernama Rusli. Rusli adalah seorang akivis Marxis yang baru pindah ke Bandung. Hasan kemudian sering berkunjung ke rumah Rusli sekedar bercengkrama dengan kawan lama selepas ia pulang dari kantor. Dari Rusli ia dikenalkan dengan Kartini, seorang janda muda yang juga orang satu pergerakan dengan Rusli. Dahulu ia dinikahkan paksa oleh kedua orangtuanya dengan seorang arab yang sangat tua yang harusnya pantas ia panggil kakek, namun lelaki yang menjadi suaminya tersebut sangatlah kaya, sehingga saat Kartini bercerai dari lelaki tua tersebut, ia membawa banyak warisan. Mulai saat itu pun Kartini berniat untuk menjadi seorang wanita yang tegar dan tangguh. Kartini dan Rusli sangat akrab, namun hanya sebatas hubungan kakak dan adik saja. Kartini menganggap Rusli adalah orang yang dapat melindunginya.Hasan jatuh hati kepada Kartini, ia melihat ada Rukmini di dalam diri Kartini. Banyak kesamaan sikap antara mereka, begitu persaan Hasan. Dan hubungan mereka pun menjadi tambah dekat.
Ketertarikannya terhadap Kartini membuat Hasan semakin sering berkunjung ke rumah Rusli karena memang Kartini sering berkumpul dengan orang-orang pergerakannya disana.. Awalnya ia merasa cemburu dan mengganggap pergaulan antara Rusli dan Kartini bukan hubungan antara kakak dan adik, melainkan lebih. Kini Hasan tahu bahwa Rusli merupakan seorang yang tidak percaya adanya Tuhan. Di setiap pembicaraan mereka Hasan selalu tidak bisa mengedalikan diri saat argumen-argumen yang dikeluarkan Rusli logis adanya. Ia pun sempat emosi terhadap Rusli. Namun, akhirnya ia beertekad untuk membantu Rusli dan Kartini ke jalan yang benar. Namun niat Hasan untuk menginsaykan kawannya malah berbalik arah. Apalagi setelah ia diperkenalkan dengan Anwar, seorang pelukis dan seniman anarkis. Anwar orang yang pintar dalam bicara dan diskusi. Kalau Anwar sudah mengeluarkan pendapat dan argumennya, tidak ada yang bisa menangkal, apalagi Hasan yang hanya memahami agama berdasarkan keimanan buta tanpa logika. Kepandaian Anwar lama-lama mempengaruhi Hasan, ia pun mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan hingga tanpa ia sadari ia pun mulai meninggalkan ritual yang biasa dilakukannya.
Konflik mulai terjadi saat Hasan pulang ke kampungnya. Karena disuruh Anwar, ia berterus terang kepada kedua orangtuanya bahwa sekarang ia tak lagi percaya Tuhan, ia sekarang sudah menjadi atheis. Bagai kiamat besar yang datang, orangtua Hasan mengusinya keluar dari kampung dan tidak menganggap lagi Hasan sebagai anak mereka. Semenjak kejadian tersebut ayah Hasan sakit-sakitan.
Hasan kembali ke Bandung dan menikah dengan Kartini secara diam-diam. Kehidupannya dengan Kartini membuatnya semakin jauh dari agama. Namun, kehidupan rumah tangganya hanya berumur tiga tahun. Setelahnya, pernikahan Hasan dan Kartini selalu diwarnai dengan pertengkaran. Sikap Kartini yang menganut faham kebebasan membuat Hasan tidak terima dan menganggap Kartini sebagai seorang wanita yang tidak bisa menghargai suaminya. Ia pun seringkali memukuli Kartini karena kecemburuannya terhadap sikap Kartini yang mulai sering pergi keluar bersama Anwar. Hasan merasa bahwa di belakangnya, istrinya tersebut berselingkuh dengan Anwar. Kartini tetap saja mengelak. Hingga pada akhirnya mereka pun bercerai. Karena persoalan-persoalan inilah Hasan kembali membutuhkan kekuatan Tuhan. Kesadaran inilah yang membuat Hasan merasa berdosa tidak hanya kepada orangtuanya tetapi juga kepada Allah. Ia menyesal telah meninggalkan nilai-nilai keagamaan dalam dirinya.
Setelah ia bercerai dengan Kartini ia pun pulang ke rumahnya. Untuk bertemu dengan kedua orang tuanya dan meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat. Ia ingin bersujud di kaki ayahnya yang ternyata tengah sakit parah. Ayahnya tidak sudi dan tidak menerima semua permintaan maaf yang Hasan ucapkan. Ia pun menyuruh Hasan untuk pergi dari rumahnya.
Lalu saat ia pergi ke sebuah hotel dekat stasiun Bandung, ia mendapati fakta bahwa pada hari saat ia dan istrinya bertengkar, dan istrinya kabur dari rumah. Anwar dan Kartini berada dalam satu kamar di hotel tersebut. Hasan mengetahuinya dari buku tamu yang iseng-iseng ia baca. Semakin memuncak kemarahannya Anwar dan ia pun pergi mencari Anwar hingga tengah malam. Ia tidak sadar bahwa saat itu telah terjadi jam malam masa pendudukan Jepang sehingga ia pun tertembak oleh peluru yang menembus punggungnya. Ia pun tewas di tempat kejadian dengan penuh rasa sesal.
Alur dan gaya bahasa
Yang sangat menarik dari novel ini adalah alurnya yang tidak linier. Menurut ahli sastra Indonesia asal Belanda A. Teeuw, plot novel ini menggunakan urutan [C {B (A) B} C]
Huruf A mewakili masa yang dibahas dalam tulisan tokoh Hasan (dari masa kecil sampai bercerai dengan Kartini), huruf B mewakili masa yang diceritakan narator, dan huruf C mewakili waktu Hasan terbunuh. Jadi terdapat 3 sudut pandang penceritaan dalam satu novel yang membuat saya sebagai pembaca mengetahui sosok Hasan dari 3 sisi perspektif berbeda. Hal tersebut semakin menguatkan karakter tokoh-tokoh yang ada didalam benak pembaca.
Diksi dalam Atheis menunjukkan pengaruh bahasa Sunda yang besar dengan bahasa Indonesia yang digunakan kadang-kadang seakan dipaksakan, dengan bentuk kalimat menyimpang dari kebiasaan penulis-penulis Minang yang mendominasi dunia sastra Indonesia pada saat itu.
Maier menulis bahwa roman ini menggunakan "simile dan metafor yang aneh tetapi cocok", dengan gaya yang mirip karya-karya yang sudah ada seperti Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Balfas mencatat bahwa ada kemiripan lain dengan karya sebelumnya, termasuk kematian protagonis di puncak cerita, sementara Sastrowardoyo berpendapat bahwa Belenggu malah lebih modern biarpun diterbitkan sembilan tahun sebelum Atheis
Tema dan nilai-nilai
Novel yang terbit tidak lama setelah Indonesia merdeka ini boleh dikatakan sebagai novel yang sangat berani pada masanya yang mengangkat tema ketuhanan dan ideologi. Pada peluncuran novel ini tokoh agama menolak keras karena menggambarkan Hasan, yang mereka menganggap sebagai wakil agama dan orang beriman, sebagai orang yang tidak dapat mengatasi godaan; mereka juga tidak setuju dengan kurangnya pembahasan doktrin agama.Tokoh-tokoh Marxis dan anarkis juga merasa bahwa ideologi mereka kurang dijelaskan, dan menganggap bahwa tokoh Rusli dan Anwar tidak benar-benar mencerminkan pemikiran para filsuf seperti Karl Marx dan Friedrich Nietzsche.Sebagai tanggapan, Achdiat menulis bahwa tokoh-tokoh tersebut dimaksud untuk realistis, dan jarang ada orang di kehidupan nyata yang mempunyai pengetahuan tentang suatu ideologi yang sangat mendalam seperti yang diinginkan para kritikus.Namun, pembaca lain – terutama dari dunia sastra – memuji Atheis, termasuk Pramoedya Ananta Toer dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Saya sebagai pembaca umum novel ini menilai ini adalah sebuah “beautifully composed” novel yang syarat dengan nilai-nilai moral dan keagamaan, meski disampaikan lewat tokoh hasan yang menjadi atheis. Justru disitulah pelajaran yang dapat diambil, bahwa sesungguhnya suatu keimanan tanpa logika dan hanya didasari kefanatikan belaka akan tergerus ketika dihadapkan dengan nilai-nilai yang berdasarkan logika dan pengetahuan. Menurut saya, kematian Hasan justru sebagai simbol bagi kematian atheis yang ingin disampaikan penulis. Terakhir saya memberikan nilai 5/5 untuk roman klasik satu ini.
Comments
Post a Comment