Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2016

Belajar Bermain Gitar

Kau mengharapkan aku hafal puisi Sylvia Plath Yang baru sekali kaubaca dari buku curian di perpustakaan Kau menginginkanku memugar kamar untuk ranjang anyar Yang sesekali kau tiduri tanpa bekas napas pada bantal Kau menghendaki aku mengantar hujan ke Sahara Di tengah kerontang tubuhmu searoma magnolia Kau seperti musisi ternama yang berharap lagumu Kunyanyikan di dalam kamar mandi di malam hari Kau serupa guru-guru sekolah yang menyuruhku tidur sebelum aku menemukan rumah untuk kembali Kau bagai angin petang penghantar hujan jatuh di pelupuk mata sebelum kau menyaksikan Sebelum kau menyanyikan sesuatu Aku akan belajar bermain gitar Pada penyanyi kesayanganmu Aku akan melagukan puisi Sylvia Plath Yang tak sempat ia tulis untukmu 2016

Batas Tipis Antara Kenyataan dan Khayalan Pedro Paramo

(sumber: goodreads.com) Detail Buku Judul: PEDRO PARAMO Judul asli: Pedro Paramo Penulis: Juan Rulfo Penerjemah: Luthfi Mardiansyah Penerbit: Penerbit Gambang Tebal: 243 hlm Cetakan: I, Sepetember 2016 “Di sini, di mana udara terasa begitu ganjil, suara-suara itu kudengar jauh lebih jelas. Suara-suara itu ada dalam diriku, begitu nyaring dan bising (hal 9). Juan Rulfo sepanjang hidupnya hanya menghasilkan dua karya sastra, yaitu kumpulan cerpen The Burning Plain and Other Stories (1953) dan novel Pedro Paramo (1955). Padahal ia berumur panjang, 68 tahun. Namun dengan jumlah karya yang minimal, ia telah memainkan peran sangat penting dalam khazanah kesusastraan Amerika Latin. Ia mempengaruhi penulis Amerika latin setelahnya dengan istilah yang kelak dikenal sebagai realisme magis. Gabriel Garcia Marquez mengakui bahwa ketika ia menulis One Hundred Years of Solitude , ia menemui kebuntuan, lalu ia kembali tercerahkan setelah membaca Pedro Paramo. “Sastra Amerika

Kiat Sukses Memahami ‘Kiat Sukses Hancur Lebur’

"pada akhirnya, mau lele atau ayam atau tempe atau soto, semuanya sama saja: meledak di jamban." (Bab VI: Arahan Seputar Budi Daya Lele, h. 154) Pada awal abad XX, ditengah berkecamuknya perang dunia I (1914-1918) di Eropa tumbuh suatu gerakan kebudayaan yang diprakarsai oleh para seniman dan budayawan guna menunjukkan sikap netralitas dan tak mau terlibat dalam suasana perang yang semakin berkecamuk dan mengerikan. Sebuah bar di swiss, Cabaret Voltaire, menjadi tempat berkumpul para budayawan dan seniman yang menggagas gerakan ini. Mereka menyebut gerakan yang mereka jalani dengan kata Dada , yang kemudian dikenal sebagai Dadaisme . Sikap perlawanan mereka bertujuan untuk tidak memihak atas seni dan budaya yang mulai dikotomis akibat perang karena kepentingan politik. Mereka tidak mau terikat dalam batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu seni dan kebudayaan. Awalnya gerakan ini meliputi seni lukis dan visual, kemudian meluas ke ranah kebudayaan