Skip to main content

Kiat Sukses Memahami ‘Kiat Sukses Hancur Lebur’




"pada akhirnya, mau lele atau ayam atau tempe atau soto, semuanya sama saja: meledak di jamban." (Bab VI: Arahan Seputar Budi Daya Lele, h. 154)



Pada awal abad XX, ditengah berkecamuknya perang dunia I (1914-1918) di Eropa tumbuh suatu gerakan kebudayaan yang diprakarsai oleh para seniman dan budayawan guna menunjukkan sikap netralitas dan tak mau terlibat dalam suasana perang yang semakin berkecamuk dan mengerikan. Sebuah bar di swiss, Cabaret Voltaire, menjadi tempat berkumpul para budayawan dan seniman yang menggagas gerakan ini. Mereka menyebut gerakan yang mereka jalani dengan kata Dada, yang kemudian dikenal sebagai Dadaisme. Sikap perlawanan mereka bertujuan untuk tidak memihak atas seni dan budaya yang mulai dikotomis akibat perang karena kepentingan politik. Mereka tidak mau terikat dalam batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu seni dan kebudayaan. Awalnya gerakan ini meliputi seni lukis dan visual, kemudian meluas ke ranah kebudayaan lainnya, yaitu sastra, teater dan teori seni.



Gerakan ini mengilhami kemunculan gerakan-gerakan sesudahnya: avant-garde, gerakan musik kota, serta kelompok lain seperti Surrealisme, Nouveau Réalisme, Pop Art dan Fluxus. Lahir dan berkembangnya sub-genre realisme magis di Amerika Latin pun merupakan pengaruh gerakan ini. Adalah Alejo Carpentier dan Arturo Uslar-Pietri yang membawa pengaruh artistik dan estetika yang sedang berkembang di Eropa ke Amerika Latin ketika mereka kembali ke kampung halaman pada 1920an-1930an.

Dalam lanskap literasi tanah air, tidak banyak karya-karya avant garde yang terlahir melangkahi batas-batas norma dan tolak ukur sastra yang sudah baku. Adanya keragaman dalam dunia sastra yang lahir bergerak tidak jauh dari simpul-simpul pakem yang sudah diterima luas. Kemajemukan gaya sastra hanya tersaji pada tema cerita, premis utama dan nilai-nilai yang disampaikan. Sangat jarang sekali, untuk tidak mengatakan hampir tidak ada, muncul karya sastra yang mendobrak secara bentuk dan formasi penceritaan. Satu karya yang pernah agak menonjol adalah sebuah novel pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2003, Dadaisme, karya Dewi Sartika yang dianggap keluar dari tatanan kelaziman bagaimana cerita disuguhkan kepada pembaca. Dadaisme penuh dengan ketidakteraturan penceritaan dengan point of view yang berganti-ganti dari orang pertama, orang kedua dan orang ketiga. Disajikan melalui fragmen-fagmen singkat yang terpotong-potong dengan alur yang meloncat-loncat.  

Setelah itu, selama lebih dari satu dekade perjalanan kesusastraan lokal, praktis tidak ada lagi karya avant-garde yang lahir. Kemudian, tiga bulan sebelum tahun 2016 berakhir, Kiat Sukses Hancur Lebur, karya fiksi perdana Martin Suryajaya, hadir mendobrak tatanan baku sastra pada September 2016 yang lalu   Novel ini seperti ingin menertawakan karya-karya sastra liris nan romantis yang belakangan menghuni rak-rak buku laris di toko buku.

Buku ini telah mengenalkan dirinya sejak halaman pertama sebagai buku dengan tatanan hancur lebur. Bagaimana tidak disebut demikian, bacalah catatan editor yang membuka buku ini. Cerita dibuka dengan sebuah pengantar yang tidak dapat dipercaya yang mengatakan bahwa manuskrip buku ini telah diterima sang editor pada 2019. Pengantar yang dibuat oleh kritikus sastra Andi Lukito ini menginformasikan kepada pembaca bahwa buku yang pembaca pegang ini adalah hasil penyajian sebuah manuskrip karya Anto Labil, S. Fil, seorang filsuf anggota perserikatan “Tujuh Pendekar Kere” yang hidupnya tidak biasa. Andi Lukito juga menjelaskan bahwa manuskrip yang ada di tangan pembaca ini ditulis dengan gaya yang tidak biasa. Dan manuskrip tersebut, yang diberi judul Kiat Sukses Hancur Lebur menurut Anto Labil, S. Fil., adalah satu bagian kecil saja dari sebuah buku yang direncanakan panjang. Selanjutnya, kita pembaca ini akan membaca manuskrip dari Anto Labil S. Fil. yang sudah diedit salah ketiknya oleh Andi Lukito. Bagian inilah yang tidak biasa, bahasanya seperti “bahasa puisi penyair mabuk yang hampir jatuh ke got.” Jika ingin disebandingkan, Andi Lukito berfungsi seperti pencerita “Saya” dalam bab awal novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Selanjutnya, sejak bab pertama, Anto Labil, S.Fil berlaku sebagai “Saya”.

Setelah catatan editor, kemudian buku ini mengalir dengan semena-mena sejak bab pertama dan seterusnya. Setiap bab diberi judul ala buku kiat-kiat atau self-help, sebagai misal: Dasar-Dasar Akuntansi Avant-Garde, Resep Sukses Tes Calon Pegawai Negeri Sipil, Arahan Seputar Budidaya Lele, dst.

Dalam menyampaikan gagasannya, Anto Labil, S. Fil merujuk kepada banyak pemikir dan tokoh intelektual yang sudah tidak diragukan kapabilitas mereka, namun tentu saja dengan seloroh seenaknya. Misalnya, Martin Heidegger diplesetkan menjadi Heinrich Himmler yang mengarang Sein un Shit (1927), pendiri fenomenologi Edmund Husserl menjadi Edmund Buser, Emmanuel Levinas menjadi Emmanuel Leviathan, Gianni Vatimo menjadi Gianni Vatican, Friedrich Nietzsche berubah menjadi Friedrich Nazi. Bahkan nama-nama sastrawan kita juga tidak luput dari keisengannya yang semena-mena. Ambil contoh Pramoedyawardhani penulis novel Bukan Pasar Maling, W.S Rendra diplesetkan menjadi WC Rendra, Salah Asuhan Abdul Muis menjadi Salah Panti Asuhan dan nama pengarangnya menjadi Abdoel Moechlis, nama nama lain yang pasti tak asing lagi seperti Sitor Situgintung, Hotman Watugunung, Heru Tremor, Taufik Rendang, Ahmad Sobary, Motinggo Busyet, Dami & Toba, Danarto Jatman, Putu Sutawijaya, Arswendo Atmajaya, Abdul hadi WNI, Remisi Lado, Kuntogendeng, Sinus Suryadi, Umar kayang, bahkan Goenawan Mucikari. Semua gado-gado referensi plesetan itu diracik sedemikian bajirut hingga akhir, di bagian daftar pustaka.

Sepanjang cerita ada sosok yang dibayangkan Anto Labil sebagai pendengarnya. Mereka adalah sosok yang diacu dengan kata ganti “Bapak-Ibu yang blablabla” atau “Blablabla, Bapak-Ibu sekalian”. “Blablabla” ini adalah bagian yang bervariasi dalam tiap kesempatan. Berikut sekadar beberapa contoh: “Bapak-Ibu sekalian yang murung dompetnya” (hlm. 103), “Mari makan rebun, Bapak-Ibu sekalian” (hlm. 73), dst.. Tapi, tepatnya siapakah “Bapak-Ibu” itu?

Penerbit Banana, asuhan Paman Yusi yang baru menerima penghargaan Kusala Khatulistiwa Award 2016, seperti perlu mencapkan label ‘Novel’ pada sampul muka guna menegaskan kepada pembaca bahwa ini bukan buku sejenis buku motivasi pengembangan diri (self-help). Agar para pembaca tidak salah mengira.

Buku ini telah mengibarkan bendera sebagai perayaan ide menentang batas-batas lazim kesusastraan. Ia semacam jaz yang improvisasi kecerdasannya begitu nakal dan semena-mena.

Jika membaca karya fiksi perdana Martin Suryajaya ini dengan memakai kacamata sastra konvensional yang biasa maka besar kemungkinan buku ini akan berakhir tergeletak di pojok ruang menunggu dibuang, karena pembaca gagal memahami konsep bercerita yang ditawarkan. Kalau boleh dibuat pemisalan, buku ini adalah ibarat buah durian yang ranum dengan wangi nan sengit, hanya ada dua kutub manusia jika benda ini dihadapkan padanya; kelompok yang sangat suka atau kelompok yang sangat jijik sama sekali. Mereka yang suka akan memuji-muji buku ini serupa selesai membaca karya peraih nobel sastra, atau yang tidak suka sama sekali dan segera mencampakkan buku ini ketika baru membaca kata pengantar yang absurd dan amburadul dan tak dapat dipercaya. Maka, tidak akan ada golongan yang berada ditengah-tengahnya.

Sebenarnya ada jalan keluar lain jika pembaca gagal memahami novel ini dengan pendekatan sastra konvensional. Novel ini bisa dianggap sebagai buku humor yang bertujuan hanya untuk menertawakan sesuatu tanpa intensi apapun. Seperti menikmati sebuah hiburan banal, biarkan diri Anda menikmati dan ikut tertawa.

Maka ada baiknya kita memakai gagasan teoretikus M.M. Bakhtin untuk memahami buku ini sebagai novel. Ia menyatakan bahwa genre yang disebut “novel” ini belum berbatas. Dalam bangunan teorinya, M.M. Bakhtin membandingkan genre “novel” dengan genre “epik.” Kalau epik sudah tawat riwayatnya dan kita bisa membuatkan definisi atasnya, novel adalah genre yang masih hidup dan masih terus bisa berkembang. Sehingga, tidak ada batasan-batasan yang bisa secara valid dipakai untuk mendefinisikannya secara ketat. Implikasinya adalah kita bisa bilang bahwa bentuk novel bisa bermacam-macam. Kalaupun ada yang selama ini membedakan genre novel dari genre epik, hal itu terletak pada kontradiksi atau multi-suara yang terkandung di dalamnya.

Kalaupun memang belum pernah ada novel yang mirip Kiat Sukses Hancur Lebur, kita tetap tidak bisa bilang bahwa dia bukan novel. Toh, seperti disebut di muka, belum ada batasan formal untuk genre ini. Begitu juga dalam kaitannya dengan fitur fundamental novel, Kiat Sukses Hancur Lebur juga memiliki (atau bisa saya bilang “kaya,” meskipun ini artinya saya berhutang menunjukkannya kepada Anda) suara ganda atau multivocality. Hubungan antar pembuka fiktif oleh Andi Lukito dan teks novel dari Anto Labil, S. Fil. itu saja sudah mengandung multivocality yang tidak dikonsolidasikan sampai akhir novel. Di satu sisi Andi Lukito mencurigai kualitas novel ini dan meragukan pribadi Anto Labil, sementara si Anto Labil sendiri memandang serius perannya sebagai penulis dan menulis sebuah novel yang setidaknya secara bahasa cukup konsisten (dan itu menunjukkan keseriusan kerja si penulis). Belum lagi kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Maka, kalau kita memegang erat definisi ala Bakhtin di atas, Kiat Sukses Hancur Lebur sangat memenuhi syarat kelengkapan untuk disebut novel.

Demikianlah.

Slalom! (Meniru Anto Labil)



Daftar Pustaka:

Harmoko, 1988. Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Jakarta : Kementrian Omong Kosong Republik Indonesia.

Tuhan YME. 2004. Bagaimana Kata-kata Saya Berulangkali Disalahpahami, Bagaimana Saya Sibuk Mengklarifikasi, Dan Bagaimana Saya Akhirnya Mengikhlaskannya, Penerbit Tuhan YME.



Tulisan lainnya:

Comments

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi ter haluanlebih dahulu. Gratis :)

    ReplyDelete
  2. hahahaha seru sekali novelnya "sumpahh"

    ReplyDelete
  3. Membaca novel ini cukup untuk membuatmu meledak dan menimbulkan gejala kurangnya perhatian kepada kocheng caper kesayanganmu . .

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin buku

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam

Resensi Novel Divortiare

Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama Penulis                 : Ika Natassa Cetakan pertama : 2008 Halaman              : 328 Sinopsis Divortiare dibuka dengan cerita Alexandra Rhea -tokoh sentral novel ini sebagai aku- yang merupakan wanita karir sebagai relationship manager sebuah bank ternama di Jakarta, Alex – begitu ia disapa- baru baru saja pulang dari business trip ke daerah mengunjungi lokasi bisnis salah nasabah perusahaannya.Dalam perjalannanya pulang ke apartemennya ia menelpon Beno Wicaksono, dokter pribadinya, yang juga adalah mantan suaminya sejak dua tahun yang lalu. Alex meminta Beno yang bertugas di sebuah rumah sakit datang ke tempatnya karena ia merasa tidak enak badan semenjak dari tugasnya ke daerah.