Skip to main content

Posts

Terbaik Terbaik, 2016

Tahun 2016 telah berlalu dan meninggalkan banyak kesan bagi dunia literasi Indonesia. Meski pada tahun itu, kita pun agak sedih ketika Unesco merilis hasil survey mereka mengenai minta baca warga dunia. Mereka mengungkap, dalam laporannya, bahwa minta baca penduduk Indonesia hanya 0,001% dalam arti hanya ada 1 orang diantara 1.000 penduduk Indonesia yang dikategorikan sebagai ‘pembaca serius’. Data tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 61 dari 62 negara yang disurvey. Menyedihkan sekali, sebetulnya. Namun demikian, ada juga berita-berita perbukuan yang membuat kita sedikit bangga. Diantaranya, kembalinya Indonesia berpartisipasi dalam Frankfurt Book Fair 2016 setelah tahun sebelumnya Indonesia menjadi tamu kehormatan ( Guest of Honour ) untuk pertama kali. Setidaknya, itu adalah salah satu cara bagi kita untuk menggiring dunia literasi kita masuk dalam sorotan pembaca dunia. Tidak kurang 300 buku karya penulis dalam negeri dipamerkan dalam helatan buku paling prestisius te...

Cinta Sepuh yang Telat Berlabuh

“Usia bukan masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu.” (Gabriel Garcia Marquez, “Para Pelacurku yang Sendu”, hal. 62) PARA PEMBACA SASTRA di tanah air seharusnya bergembira dengan kondisi saat ini ketika karya-karya kanon sastra dunia semakin ramai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir, karya-karya penulis Amerika Latin yang dikenal dengan suguhan realisme magis semakin banyak dialihbahasakan seiring semakin banyak pula peminatnya. Gabriel Garcia Marquez adalah salah satunya. Gabo, sebagaimana ia biasa dipanggil, adalah salah satu peletak tonggak penting dalam khasanah kesusastraan Amerika Latin. Ia melanjutkan fenomena Latin American Boom periode 1940-1960an dengan salah satu adikaryanya Cien a ñ os de soledad ( One Hundred Years of Solitude/Seratus Tahun Kesunyian ). Gayung bersambut, penerbit dalam negeri pun berlomba-lomba merilis terjemahan karya-karyanya. Tiap penerbit bisa memiliki alasan yang berbeda u...

Belajar Bermain Gitar

Kau mengharapkan aku hafal puisi Sylvia Plath Yang baru sekali kaubaca dari buku curian di perpustakaan Kau menginginkanku memugar kamar untuk ranjang anyar Yang sesekali kau tiduri tanpa bekas napas pada bantal Kau menghendaki aku mengantar hujan ke Sahara Di tengah kerontang tubuhmu searoma magnolia Kau seperti musisi ternama yang berharap lagumu Kunyanyikan di dalam kamar mandi di malam hari Kau serupa guru-guru sekolah yang menyuruhku tidur sebelum aku menemukan rumah untuk kembali Kau bagai angin petang penghantar hujan jatuh di pelupuk mata sebelum kau menyaksikan Sebelum kau menyanyikan sesuatu Aku akan belajar bermain gitar Pada penyanyi kesayanganmu Aku akan melagukan puisi Sylvia Plath Yang tak sempat ia tulis untukmu 2016

Batas Tipis Antara Kenyataan dan Khayalan Pedro Paramo

(sumber: goodreads.com) Detail Buku Judul: PEDRO PARAMO Judul asli: Pedro Paramo Penulis: Juan Rulfo Penerjemah: Luthfi Mardiansyah Penerbit: Penerbit Gambang Tebal: 243 hlm Cetakan: I, Sepetember 2016 “Di sini, di mana udara terasa begitu ganjil, suara-suara itu kudengar jauh lebih jelas. Suara-suara itu ada dalam diriku, begitu nyaring dan bising (hal 9). Juan Rulfo sepanjang hidupnya hanya menghasilkan dua karya sastra, yaitu kumpulan cerpen The Burning Plain and Other Stories (1953) dan novel Pedro Paramo (1955). Padahal ia berumur panjang, 68 tahun. Namun dengan jumlah karya yang minimal, ia telah memainkan peran sangat penting dalam khazanah kesusastraan Amerika Latin. Ia mempengaruhi penulis Amerika latin setelahnya dengan istilah yang kelak dikenal sebagai realisme magis. Gabriel Garcia Marquez mengakui bahwa ketika ia menulis One Hundred Years of Solitude , ia menemui kebuntuan, lalu ia kembali tercerahkan setelah membaca Pedro Paramo. “Sastra Amerika...

Kiat Sukses Memahami ‘Kiat Sukses Hancur Lebur’

"pada akhirnya, mau lele atau ayam atau tempe atau soto, semuanya sama saja: meledak di jamban." (Bab VI: Arahan Seputar Budi Daya Lele, h. 154) Pada awal abad XX, ditengah berkecamuknya perang dunia I (1914-1918) di Eropa tumbuh suatu gerakan kebudayaan yang diprakarsai oleh para seniman dan budayawan guna menunjukkan sikap netralitas dan tak mau terlibat dalam suasana perang yang semakin berkecamuk dan mengerikan. Sebuah bar di swiss, Cabaret Voltaire, menjadi tempat berkumpul para budayawan dan seniman yang menggagas gerakan ini. Mereka menyebut gerakan yang mereka jalani dengan kata Dada , yang kemudian dikenal sebagai Dadaisme . Sikap perlawanan mereka bertujuan untuk tidak memihak atas seni dan budaya yang mulai dikotomis akibat perang karena kepentingan politik. Mereka tidak mau terikat dalam batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu seni dan kebudayaan. Awalnya gerakan ini meliputi seni lukis dan visual, kemudian meluas ke ranah kebudayaan...

Mengais Sampah Demi Rupiah

Mengais sampah demi rupiah Awan hitam yang sedari tadi menggantung di langit Kota Bandung akhirnya tumpah menjadi hujan. Bulir-bulirnya jatuh bergulir dari angkasa, mengencingi segala sesuatu di bawahnya, termasuk hamparan rumput sintetis Alun-Alun Kota Bandung. Seorang pria setengah baya yang dari tadi menggeledah tiap-tiap tong sampah yang ada di pinggir taman itu harus segera menepi ke sebuah bangunan untuk berteduh. Dengan bergegas, ia menyeret sebuah kantong plastik besar yang dari tadi dibawanya. Heru Santoso, anggaplah namanya begitu, mulai membongkar kantong plastik besar bawaanya sambil menunggu hujan reda. Ia memilah barang-barang hasil pungutannya, memisahkan antara benda-benda plastik dengan kaleng dan kertas. Hasil pungutannya hari ini belum seberapa, tidak lebih dari 4 kilogram. Dengan harga beli barang bekas dan rongsokan plastik, kertas dan kaleng di pengepul sekitar Rp 2.000 – Rp 2.500 per kilogram, maka pendapatannya hari itu tidak lebih Rp 10.000. Jika t...

Ketika Agama Tak Lagi Menyejukkan

“All things are subject to interpretation. Whichever interpretation prevails at a given time is a function of power and not truth.” (Friedrich Nietzsche) Dalam beberapa pekan terakhir saya agak malas membuka akun media sosial. Kalaupun harus memantau twitter dan membuka inbox facebook untuk membalas pesan-pesan dari para fans (anggaplah seperti itu J ), saya melakukannya dengan secepat kilat. Sebisa mungkin saya langsung memilih pesan masuk tanpa harus melihat timeline . Bagaimana tidak, timeline media sosial akhir-akhir ini dipenuhi makian, cacian dan cercaan terkait masalah Ahok dalam Pilkada Jakarta dan perkataan bliau yang dianggap sebagai penistaan agama oleh sebagian kalangan. Meski sebagian orang-orang yang mengecam pun hanya melihat cuplikan pendek sekian menit pidato sambutan bliau, atau malah tanpa pernah melihat cuplikan video tersebut. Genderang perang sepertinya telah ditabuh. Dua kubu yang pro dan kontra ramai-ramai saling berebut mengisi linimasa de...