Tahun 2016 telah
berlalu dan meninggalkan banyak kesan bagi dunia literasi Indonesia. Meski pada
tahun itu, kita pun agak sedih ketika Unesco merilis hasil survey mereka mengenai
minta baca warga dunia. Mereka mengungkap, dalam laporannya, bahwa minta baca
penduduk Indonesia hanya 0,001% dalam arti hanya ada 1 orang diantara 1.000
penduduk Indonesia yang dikategorikan sebagai ‘pembaca serius’. Data tersebut menempatkan
Indonesia di peringkat 61 dari 62 negara yang disurvey. Menyedihkan sekali,
sebetulnya.
Namun demikian,
ada juga berita-berita perbukuan yang membuat kita sedikit bangga. Diantaranya,
kembalinya Indonesia berpartisipasi dalam Frankfurt Book Fair 2016 setelah
tahun sebelumnya Indonesia menjadi tamu kehormatan (Guest of Honour) untuk pertama kali. Setidaknya, itu adalah salah
satu cara bagi kita untuk menggiring dunia literasi kita masuk dalam sorotan
pembaca dunia. Tidak kurang 300 buku karya penulis dalam negeri dipamerkan
dalam helatan buku paling prestisius tersebut.
Sepanjang tahun
2016, banyak sekali buku-buku menarik dan berkualitas yang terbit. Sebagai
pengingat, saya memilih beberapa buku yang saya anggap sebagai buku-buku dengan
kualitas yang pantas untuk dibaca ulang di tahun-tahun mendatang. Beberapa buku
terbaik dari yang terbaik (best of the best) 2016, setidaknya bagi saya dan
dalam urutan acak , dalam beberapa kategori adalah buku-buku berikut:
1.
Prosa Terbaik: Kiat Sukses Hancur Lebur (Martin
Suryajaya)
Ini adalah
novel pertama Martin Suryajaya, penulis dan peniliti filsafat, yang bisa
disebut sebagai karya eksperimental. Tidak salah Majalah Tempo memilihnya
sebagai buku prosa terbaik 2016. Dalam Kiat Sukses Hancur Lebur, Martin memain-mainkan
dan mengocok ulang dengan bentuk ‘baku’ sebuah prosa yang sudah kita kenal. Tak
ada plot. Tak ada konflik. Tak ada karakter protagonis atau antagonis. Tak ada
dialog. Sepenuhnya narasi yang disampaikan dengan gaya seorang pemabuk yang
hampir pingsan. Martin seperti hendak menyampaikan bahwa mengarang adalah
tentang BAGAIMANA menuliskan imajinasi, bukan lagi tentang imajinasi APA yang
ditulis.
Review lengkapnya: Kiat Sukses Hancur Lebur
Review lengkapnya: Kiat Sukses Hancur Lebur
2.
Puisi Terbaik: Ibu Mendulang Anak Berlari (Cynta
Hariadi)
Dalam kumpulan
buku puisi Cynta Hariadi ini, ia memaknai ulang hubungan ibu dan anak, dalam
narasi puisi tentunya. Ini adalah buku kumpulan puisi pertamanya, dan langsung
diganjar sebagai Pemenang III Sayembara Puisi DKJ 2015 dan menjadi daftar
pendek (shortlist) Kusala Literary Katulistiwa 2016. Dalam 62 puisinya, Cyntha merangkai
emosi-emosi yang tumbuh dari hubungan anak dan ibu, dalam bahasa yang liris dan
manis, tentunya.
3.
Kumpulan Cerpen Terbaik: Tuhan Tidak Makan Ikan
(Gunawan Tri Atmodjo)
Meski premis
utama kumpuan cerita pendek ini adalah menertawakan hal-hal kecil dalam hidup
dalam narasi komedi nan terkadang satir, namun Gunawan, si penulis, secara tak
kentara menyisipkan nilai-nilai humanitas di setiap ceritanya. Terdapat 22 cerita dalam buku kumcer ini. Anda
cukup baca 3 cerita saja setiap hari, maka hari-hari Anda akan terasa lebih
menyenangkan dan membuat Anda melihat masalah-masalah di sekeliling dengan
kacamata berbeda.
4.
Memoir Terbaik: The Seven Good Years (Etgar
Keret)
Di sepanjang tahun
2016 ini, banyak memoir yang terbit dari orang-orang beken yang sayang dilewatkan. Ada What I Talk about When I Talk about Running-nya Haruki Murakami.
Ada Hidup di Luar Tempurung-nya Benedict
Anderson. Yang paling berkesan, bagi saya, adalah memoir dari penulis Israel, The Seven Good Years-nya Etgar Keret.
Dalam memoir tipis tersebut, Etgar Keret mengisahkan bagaimana cara ia hidup di
wilayah konflik dan menyikapi setiap kejadian dengan unik.
5.
Fiksi Luar Terbaik: The Vegetarian (Han Kang)
Karya pengarang
Korea Selatan ini, Han Kang, memenangkan penghargaan The Man Booker
International Prize 206 dengan menyisihkan jagoan novelis Indonesia paling
bersinar saat ini, Eka Kurniawan. Novel ini mengisahkan tentang Yeong-hye,
seorang perempuan paruh baya, yang secara mendadak memutuskan menjadi seorang
vegetarian saat ia bangun dari suatu mimpi buruk. Menggunakan fondasi cerita milik
Kafka, Han Kang sangat lihai memunculkan emosi dan memainkannya dengan gaya
Murakami. Novel yang luar biasa dan meninggalkan kesan mendalam setelah
membacanya. Eka Kurniawan menyebutnya sebagai salah satu novel terbaik yang
pernah dibacanya.
6.
Non-Fiksi Terbaik: Kekerasan dan Identitas
(Amartya Sen)
Karya peraih
Nobel Ekonomi 1998 ini sangat penting dibaca. Terlebih ditengah vigilantisme
dan sikap intoleransi yang mewabah akhir-akhir ini yang membuat cuaca kehidupan
bermasyarakat kian memanas. Dalam buku yang edisi Indonesiannya diterbitkan
oleh Marjin Kiri, Amartya Sen memaparkan dengan gamblang bagaimana kecendrungan
manusia untuk memberi identitas-identas tertentu kepada manusia lain yang
mengkonfirmasi keinginannya. Padahal, menurutnya, identitas adalah sesuatu yang
cair, tidak tetap, dan selalu berubah menyesuaikan konteks. Sehingga kekerasan
yang timbul dari ketidaksenangan atas identitas tertentu sebetulnya adalah
sesuatu yang tidak masuk akal, yang sebenarnya hanyalah perkakas yang dipakai
demi tujuan-tujuan tertentu. Pemaparannya sangat sesuai dengan kondisi kita
saat ini.
Narasi pemabuk yang hampir pingsan sepertinya menarik, belum baca saya. BTW suka dengan semboyannya: Matikan TV, nyalakan hidup :)
ReplyDeleteTerima kasih kunjungan, kutukamus! Silakan dating lagi :)
Delete