(sumber: alamy.com)
Oleh : B Herry Priyono
Beberapa waktu
lalu saya bersama seorang teman lewat satu lokasi jalan di Jakarta Pusat. Di
pinggir jalan itu terpampang spanduk besar dengan tulisan "Komunis Datang,
Kami Siap Menyerang!" Ketika ia membuat saya menengok ke tulisan itu, saya
tidak tahan untuk tidak tertawa geli lalu bilang, "Itulah paranoia
hari-hari ini, bukan cuma basi, tapi juga buang-buang energi."
Gejala paranoia biasanya terungkap dalam
tindakan aneh-aneh ketidakwarasan mental, ditandai oleh delusi tentang bahaya
rekaan yang memburu. Maka, orang-orang yang mengidap paranoia ibarat melihat
anak kucing sebagai harimau pemangsa. Ketika diberi tahu, bahkan oleh para
ahli, bahwa itu anak kucing yang tak berdaya, penderita paranoia justru makin
meneriakkan ancaman harimau pemangsa. Itulah mengapa menganggap serius
penderita paranoia sungguh buang-buang usia. Masalahnya, paranoia sering
menjadi bagian taktik propaganda, dengan hasil terbelahnya kehidupan bersama
dalam kubu-kubu permusuhan rekaan.
Itulah suasana yang menimpa kita hari-hari
ini. Apakah kebangkitan komunisme memang merupakan probabilitas? Itu sungguh
menggelikan. Orang yang mencermati real-politik negeri ini mengerti bahwa yang
sedang bangkit bukan komunisme, melainkan perkawinan antara tribalisme agama
dan militerisme. Jadi, siapa yang menciptakan badai paranoia?
Andaikan kita memakai beberapa unsur sederhana
lensa psikoanalisis, kita akan mengenali suasana paranoia ini justru
menciptakan bumerang, dengan dampak yang tidak kurang menggelikan. Di sinilah
terletak tiga ironi konyol. Pertama, memberangus itu cara paling mudah
mengiklankan pentingnya apa yang diberangus. Kedua, pemberangusan menciptakan
cadar yang menyembunyikan apa yang diberangus, dan itu membuat lebih seduktif
serta melonjakkan daya tariknya sebagai obyek hasrat; andai bukan isinya, apa
yang diberangus justru menjadi mode yang keren. Ketiga, dalam urusan yang
sedikit lebih serius, betapa miskin dunia pemikiran tanpa perkara yang
diberangus.
Iklan
tanpa bayar
Mulailah dari ironi pertama. Bagaimana mungkin
pemberangusan itu cara paling mudah mengiklankan pentingnya apa yang
diberangus? Paradoks ini mungkin hanya dapat dikenali dengan memahami relasi
misterius antara tabu (taboo) dan rasa-merasa terhadap apa yang ditabukan.
Sangat biasa terjadi ketika belum ditetapkan sebagai tabu, tindakan atau
gagasan tertentu terasa biasa-biasa saja. Lalu ia jadi begitu menarik dan
bahkan menjadi obyek fantasi ketika telah menjadi tabu. Bisa saja penetapan
tabu itu melewati proses panjang adat-kebiasaan, bisa melalui larangan hukum, atau
bisa juga sebagai hasil represi oleh kelompok-kelompok beringas, misalnya
melalui sweeping.
Tambahlah kecenderungan itu dengan
kemudahan-kecepatan sebaran informasi dan suasana skeptis terhadap otoritas!
Maka, yang kita panen adalah daya tarik yang kian menawan dari apa yang
ditabukan, dilarang, atau diberangus. Sangat biasa ketika suatu buku atau
ajaran dilarang, pada momen itu pula "kunjungan" situs media sosial
pada apa yang dilarang justru melonjak tajam. Tentu saja, "mengunjungi"
untuk mencari informasi lewat media sosial adalah satu hal, sedangkan mengikuti
dan memperjuangkan adalah urusan lain. Bisa juga pencarian informasi dilakukan
secara tersembunyi. Namun, semua itu mengisyaratkan bagaimana pemberangusan dan
pelarangan justru melambungkan apa yang ditabukan jadi daya tarik yang
memesona. Maka tidak perlu heran ungkapan ini: "Larangan tentu karena
mengganggu kepentingan pelarangnya, maka pastilah apa yang dilarang itu gagasan
penting!" Selamat datang iklan gratis.
Paranoia kebangkitan komunisme dewasa ini
rupanya merupakan simtom dari titik temu berbagai faktor, seperti perselisihan
di tubuh tentara antara kubu revisionis dan revivalis dwifungsi, tipisnya
daya-memerintah kepresidenan Joko Widodo, ciri anti-intelektual politisi dan
pejabat pemerintah, miskinnya imajinasi penggalian dan pengembangan metode
internalisasi Pancasila, lonjakan fundamentalisme-ekstremisme agama, dan
sebagainya.
Dalam simpang siur berbagai faktor inilah
barangkali tidak sulit mengenali para revivalis dwifungsi berada di baris
terdepan. Dan, paranoia kebangkitan komunisme adalah cara paling culun dan
mudah. Bahkan, dalam berbagai poster, apa yang menjadi obyek paranoia bukan
hanya komunisme, melainkan juga Marxisme dan liberalisme. Wow! Mungkin memang
perlu dijernihkan bahwa isme-isme itu berbeda- beda. Marxisme berbeda dari
Marxisme-Leninisme, komunisme lain lagi dengan sosialisme. Sosialisme juga
punya banyak ragam. Apalagi liberalisme. Istilah liberal di Amerika Serikat
punya arti yang justru berarti sosialis di Eropa.
Hanya benak jernih yang akan peduli dengan
aneka pembedaan ini. Namun, tentu kawanan paranoia tidak peduli kejernihan.
Tidak juga peduli perbedaan Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial,
Marxisme sebagai ideologi, dan Marxisme-Leninisme sebagai organisasi partai.
Tambahkan dengan penjelasan konyol alasan pemberangusan! Maka, apa yang
diberangus justru menjadi obyek keingintahuan semakin banyak orang. Seperti
yang terjadi dalam iklan, apa yang ditabukan cepat jadi obyek perhatian. Itu
resep mujarab yang membuat obyek pemberangusan kian menggoda, dengan
probabilitas justru jadi idiom dan mode intelektual yang keren.
Mode
keren perlawanan
Inilah ironi kedua. Telah sekian dasawarsa
bahkan sebagai filsafat dan teori sosial Marxisme kian surut dalam studi ilmu-ilmu
sosial, humaniora dan filsafat. Beberapa akademisi masih mempelajari pemikiran
Marxian, itu pun dengan motif berbeda-beda. Untuk generasi para senior dekade
1960-an dan 1970-an, mereka mungkin mempelajari Marxisme dengan misi memerangi
ateisme. Bagi generasi sesudah 1990-an, banyak orang mempelajari Marxisme bukan
dalam rangka melawan ateisme, melainkan karena memerlukan studi itu untuk
memahami secara kritis corak kapitalisme dewasa ini yang ditandai
fundamentalisme pasar atau sering disebut neoliberalisme. Tetapi bila lalu
disimpulkan generasi ini pemeluk ateisme dan naif, tentulah itu kekeliruan
besar.
Namun, bisa dikatakan Marxisme sebagai bahan
studi di dunia akademik Indonesia seperti lenyap ditelan sejarah, apalagi bagi
khalayak luas. Paranoia yang terjadi hari-hari ini tak punya kaitan apa pun
dengan probabilitas kebangkitan komunisme, bahkan menjadi pemantik suasana
keingintahuan tentang pemikiran Marxisme yang telah lama pingsan. Dan, itu bisa
saja berlanjut membawa sikap lebih sehat terhadap Marxisme sebagai bahan studi
di dunia akademik.
Tentu semua itu adalah probabilitas. Apa yang
lebih pasti, kini sedang berlangsung kencang olok-olok luas terhadap paranoia
itu, persis dengan berbagai atribut yang ditabukan. Olok-olok itu sangat cepat
menyebar dalam bentukmeme digital-meme berakar dari kata Yunani, mimema
(tiruan). Polanya semakin jelas. Hampir semua meme itu mengungkapkan kelakar
renyah yang menusuk kekonyolan di balik paranoia.
Contohnya, ketika berkembang anjuran menyita
buku, tulisan, gambar yang berisi atribut-atribut Marxisme atau komunisme,
segera meledak olok-olok berupa meme begini: "Di Google banyak gambar
palu-arit, harusnya polisi segera menyita Google". Ketika dikenali
konyolnya penjelasan materialisme dialektis sebagai gagasan Aristoteles, segera
meledak meme berbunyi: "Jika kamu tidak mampu memukau publik dengan
kepintaranmu, bingungkanlah mereka dengan kebodohanmu". Juga, "Sejak
zaman Plato material soto beda-beda, kalau tidak percaya pasti ateis".
Atau, meme gambar toko bahan bangunan (mungkin maksudnya di situ dijual juga
sabit dan palu) bertuliskan: "Toko material PKI". Juga beredar
memeolok-olok berupa gambar seorang pengkhotbah memegang buku Das Kapital-nya
Karl Marx) sambil berteriak, "Buku ini ngajarin anak muda jadi kapitalis".
Polanya benderang: berbagai meme itu
berkelakar mengolok-olok kekonyolan para pembuat paranoia, dengan pesan yang
membuat orang tergelak-gelak dan paranoia itu sebagai lelucon. Dari situ
terbentuk suasana rasa-merasa bahwa kebalikannya merupakan mode keren. Apa yang
ditabukan menjadi seduktif, apalagi jika dipaksakan lewat kebodohan yang tak
tertanggungkan. Apa yang ditabukan tidak hanya menjadi laris sebagai atribut
pakaian dan identitas lain, tetapi juga menjadi mode dan standar kepintaran
serta heroisme sikap politik.
Jika dua ironi di atas terdengar begitu
konyol, ironi ketiga terdengar sedikit serius.
Kekonyolan
yang kalap
Andaipun berhasil membuat paranoia menjadi
massal, orang-orang konyol itu masih akan berhadapan dengan dunia perguruan tinggi,
sebuah instansi tempat tak ada apa pun dianggap tabu untuk dipelajari. Di
sinilah segala isme yang mau ditabukan justru perlu dipelajari sebagai bagian
kurikulum. Dalam banyak hal, kekonyolan paranoia yang terjadi hari-hari ini
tentang berbagai isme yang ingin ditabukan justru mengisyaratkan betapa urgen
studi isme-isme itu dijadikan bagian integral kurikulum.
Studi tentang isme-isme memang tidak punya
manfaat praktis, tetapi sungguh sentral bagi pembentukan daya intelektual
masyarakat. Pemahaman tentang isme-isme membantu warga negara mengenali gagasan
dan arah ideologis yang mendasari aneka kebijakan, juga membantu warga negara
lebih sanggup menilai agenda yang tersembunyi dalam gejala seperti militerisme,
fundamentalisme agama, dan fundamentalisme pasar. Dan kekonyolan yang dilakukan
para pembuat paranoia persis merupakan implikasi dari kebutaan pemahaman.
Bagaimana mungkin mau membela Pancasila apabila para jenderal bahkan tidak
mampu membedakan isme-isme pada tingkat elementer?
Namun, lebih mendasar adalah perlunya melihat
betapa miskin studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora dewasa ini tanpa kadar
tertentu pemahaman atas Marxisme dalam aneka mazhabnya. Sangatlah sulit
memahami cermat kaitan antara kinerja modal (keuangan) dan corak kapitalisme
tanpa serius mempelajari, misalnya, buku Finance Capital (1910), karya
menakjubkan pemikir Marxian, Rudolf Hilferding. Betapa miskin pemahaman atas
corak kebudayaan dewasa ini tanpa mencermati karya-karya pemikir Marxian
seperti Fredric Jameson. Atau, betapa kerdil kajian geografi pembangunan dan
corak tata kota tanpa mendalami karya-karya ahli geografi Marxian, David
Harvey, atau pemikiran Henri Lefebvre.
Ringkasnya, cara merawat kewaspadaan bangsa
ini bukanlah dengan memberangus gairah memahami isme-isme yang telah menjadi
bagian integral dunia pemikiran, tetapi justru dengan mendorong studi serius.
Jadi, untuk apa mengipas fobia terhadap kebangkitan komunisme dan paham kiri?
Itulah mainan para peternak politik (political entrepreneurs) yang sedang
mencari pembakar sentimen tribal. Mereka mau memakainya seperti bagaimana
sentimen agama dipakai secara kalap dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Tragisnya,
apa yang cuma mainan para peternak politik bagi tualang kekuasaan itu berubah
menjadi semacam keyakinan massal di antara warga biasa. Indonesia dirusak
dengan cara ini.
Waktu itu, ketika teman yang menarik perhatian
saya pada tulisan di spanduk itu, saya hanya memohon agar dia tidak ikut
kehilangan kewarasan menyaksikan para peternak politik sedang kembali kalap
mencari ancang-ancang. Lagi-lagi dengan manajemen belok kanan.
B HERRY PRIYONO
DOSEN PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI
FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian
Kompas edisi 28 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Manajemen Belok
Kanan".
Hai teman blogger sekarang untuk menonton film sangat mudah, bagi pecinta drama korea sekarang bisa nonton di smartphone anda, cukup download MYDRAKOR di GooglePlay gratis, MYDRAKOR banyak film drama korea pilihan dan terbaru. MYDRAKOR.
ReplyDeletehttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/