“All things are subject to interpretation. Whichever interpretation
prevails at a given time is a function of power and not truth.” (Friedrich
Nietzsche)
Dalam beberapa
pekan terakhir saya agak malas membuka akun media sosial. Kalaupun harus
memantau twitter dan membuka inbox facebook untuk membalas pesan-pesan dari
para fans (anggaplah seperti itu J),
saya melakukannya dengan secepat kilat. Sebisa mungkin saya langsung memilih pesan
masuk tanpa harus melihat timeline.
Bagaimana tidak, timeline media sosial akhir-akhir
ini dipenuhi makian, cacian dan cercaan terkait masalah Ahok dalam Pilkada
Jakarta dan perkataan bliau yang dianggap sebagai penistaan agama oleh sebagian
kalangan. Meski sebagian orang-orang yang mengecam pun hanya melihat cuplikan pendek
sekian menit pidato sambutan bliau, atau malah tanpa pernah melihat cuplikan
video tersebut.
Genderang perang
sepertinya telah ditabuh. Dua kubu yang pro dan kontra ramai-ramai saling
berebut mengisi linimasa dengan saling berbalas pantun, eh bukan, maksudnya
saling berbalas opini, atau seringkali hujatan. Mereka bersitegang mengenai
penafsiran Al-Quran Surat Al Maidah ayat 51 yang menjadi ayat paling sakti guna
menangkal Ahok sebagai calon gubernur Jakarta. Yang sudah lama tidak membaca
Al-Qur’an atau malah tidak tahu bahwa ada salah satu surat Al-Qur’an bernama
Almaidah pun ujug-ujug kembali membuka kitab suci tersebut. Mungkin itu sisi
baiknya, orang jadi membaca Al-Qura’an lagi, walau hanya terjemahan terbitan
Depag yang multitafsir itu.
Drama itu tidak
hanya berhenti sampai di sana. Kemudian dalam sebuah acara talkshow berdurasi paling panjang di negeri ini, ILC, kedua kubu yang berlawanan dipertemukan untuk
saling mengenal, eh bukan, maksudnya dipertemukan untuk baeradu argumen. Dalam diskusi
tersebut, Nusron Wahid, politisi partai golkar menjadi sorotan, ia dianggap melecehkan
ulama dengan mengatakan bahwa sikap MUI atas penafsiran surat Al Maidah 51
tersebut adalah sebuah kesalahan. Belum lagi cara bicaranya yang arogan dengan
mata yang melotot, menjadi sasaran hujatan karena dianggap merendahkan dan
melecehkan para ulama. Kalau boleh saya usul sama Nusron Wahid, ada baiknya ia
memakai kaca mata hitam kalau harus berdebat lagi dengan ulama, agar tidak ada lagi
yang salah tafsir dengan matanya. Jadi tidak perlu lagi ada ulama yang harus
membuat video sambil nangis-nangis menanggapi cara bicara Nusron tersebut. You know what I mean.
Kemudian hujatan
dan cacian tertuju kepada Nusron. Seperti menemukan musuh bersama baru selain
Ahok, orang-orang serempak mengumpatnya. Ia divonis telah murtad karena malah
menyanggah pendapat ulama dengan membela orang kafir.
Beberapa hari
kemudian, setelah shalat jumat, demo besar-besaran digelar di Jakarta atas
dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Meski bliau sudah meminta maaf atas
pernyataan bliau yang ditafsirkan sebagai penistaan agama. Namun, masyarakat
yang kontra sudah kadung jengah dan berang. Ribuan orang berkumpul di Masjid
Istiqlal dan berjalan sampai balaikota menuntut diadilinya Ahok. Meski mereka
hadir dengan pakaian yang nyaris sama, memakai pakaian serba putih, namun
tuntutan yang terbaca dari tulisan yang dibawa tidaklah seragam. Ada yang
menulis : Bunuh. Ada yang menuntut: Adili. Yang lain menulis: Tangkap. Kalau
saya jadi kabareskrim Polri akan bingung juga dengan beragam tuntutan tersebut.
Apakah ahok harus dibunuh dulu, lalu diadili baru kemudian ditangkap. Atau
apakah dengan membunuh Ahok sudah adil?
Untungnya
beberapa hari terakhir isu Pilkada Jakarta ini agak sedikit tertutupi dengan kabar
terpilihnya Bob Dylan sebagai penerima Nobel Kesusastraan 2016. Para penikmat
sastra ramai membicarakan pantas tidaknya penyanyi legendaris tersebut menerima
penghargaan tertinggi di ranah
literasi ini. Setidaknya mengikuti perdebatan ini lebih menyejukkan bagi saya.
Setidaknya perbedaan pendapat tidak harus disampaikan dengan hujatan, cacian
dan kata-kata kasar.
Namun, hari
Jumat yang lalu, ketika saya datang ke Masjid untuk jumatan, ceramah beraroma
kebencian dan permusuhan kembali terdengar. Rupanya isu-isu Pilkada telah jauh
merasuk sampai ke mimbar-mimbar rumah ibadah. Khatib jumat melalui mimbarnya
kembali menyuarakan agar kaum muslimin tidak memilih pemimpin kafir yang akan
menghancurkan agama. Dan agama perlu dibela dari hal-hal yang dianggap sebagai penistaan.
Sungguh sebuah
ironi, agama yang saya pahami sebagai wadah untuk mendapatkan ketenangan dan
kedamaian, namun belakangan menunjukkan wajahnya yang sangat garang dan
menyeramkan. Bila pertengkaran di dunia maya dapat saya hindari dengan menjauhi
sosial media, lalu apakah saya harus menjauhi rumah ibadah bila ia telah
dijadikan mimbar pengumbar kebencian dan permusuhan? [.]
Bung Willy, tulisannya cerdas. Suka :)
ReplyDeleteHahah..makasih Bung Akay, sudah berkunjung ;)
Delete