Skip to main content

Menikmati Eksplorasi Menulis dan Kenakalan Eka Kurniawan Dalam Novel O



goodreads.com


"Bukan cinta yang membuat kita buta, tapi keyakinan." – O



Penulis, sebagaimana juga pekerja kreatif lainnya, tidak hanya dituntut untuk melahirkan karya-karya bagus yang menghibur pembaca, namun juga dituntut menghadirkan karya-karya yang selalu menghadirkan karya yang berbeda dari karya sebelumnya. Penulis harus berani melakukan eksplorasi gaya kepenulisannya, teknik penceritaan dan lainnya demi menyuguhkan karya menarik yang berbeda dari sebelumnya. Adalah suatu kemandegan dalam proses kreatif jika penulis melulu menyajikan cerita dengan gaya yang sama. Pembaca akan merasa cepat bosan dan dapat menebak arah cerita, alih-alih terhibur dengannya.



Sekali waktu sastrawan Agus Noor pernah mengatakan bahwa menulis setamsil dengan bercinta, jika dilakukan dengan gaya yang sama, kebosanan akan mengikutinya. Sehingga, mutlak bagi penulis untuk mengeksplorasi gaya menulis demi menghadirkan karya-karya baru yang selalu berbeda demi terus memikat pembaca.

Itulah yang saya rasakan di sepanjang pembacaan karya-karya Eka Kurniawan , salah satu penulis Indonesia yang paling menonjol dalam sorotan kesusastraan dunia saat ini. Membaca karya-karya Eka Kurniawan dari awal, sejak Cantik Itu Luka sampai yang terakhir O, maka kita akan melihat bagaimana Eka tak henti berevolusi, menghadirkan cerita-cerita memikat yang tak sama dengan sebelumnya.

Jika di dua karya awal, Eka banyak disebandingkan dengan Gabriel Garcia Marquez dan Salman Rushdie oleh para kritikus, maka pada karya yang paling anyar Eka hadir dengan bentuk lain yang jauh dari bentuk yang sudah dikenal pembaca. Jika ia kerap dilekatkan dengan genre surelis magis, maka O (novel teranyarnya) adalah sebuah cerita fabel, meski tidak murni sebuah fabel karena masih melibatkan banyak tokoh manusia.

Eka pun bermain-main dengan gaya narasi, jika pada beberapa karya awal ia lebih banyak menggunakan narasi deskriptif ala penulis latin dengan kalimat yang panjang. Maka pada O ia lebih banyak menggunakan dialog antar tokoh dengan narasi seperlunya. Kalimat pun disajikan dalam sajian pendek, seperti menghemat kata. Namun padat makna. Bukan hanya itu, O hadir sebagai fragmen-fragmen singkat dengan plot yang loncat-loncat. Namun kita tidak akan kehilangan daya sentuhan khas Eka, kepiawaiannya dalam meramu cerita tetap hangat tersaji dalam dialog-dialog pendek yang terkadang terdengar satir dan menghibur dengan caranya sendiri.

Dengan blurb “tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut”, cerita O berawal dari cerita sederhana seekor monyet bernama Entang Kosasih –nama yang membuat saya tertawa saat pertama membacanya– yang bermimpi jadi manusia, lalu pada satu kesempatan ia belajar menggunakan revolver untuk menembak si polisi pemilik revolver tersebut. O, seekor monyet lain yang sudah dijanjikan akan dinikahi oleh Entang Kosasih berusaha sekuat tenaga mempertahankan cintanya di tengah peristiwa hidup yang kian menjauhkannya dari tunangannya. Dari cerita tersebut, lahir fragmen-fragmen cerita lainnya yang jika dipisah pun akan menjadi kisah mandiri yang menarik.

Melalui kehidupan dunia binatang, Eka seakan menertawakan kehidupan manusia yang tak lebih bermartabat daripada binatang. Dari sampah kembali ke sampah, kata seekor anjing. Ia pun bermain-main dengan kelakuan konyol tokoh-tokohnya untuk menyentil kehidupan nyata kita. Entang Kosasih, seekor monyet pemimpi itu akhirnya menemukan jalannya untuk menjadi manusia. Ia kemudian menjadi Kaisar Dangdut yang banyak dipuja penggemarnya. Dengan bulu dada yang seringkali dibiarkan menyeruak dari balik busana panggungnya, Sang Kaisar Dangdut akan menghibur manusia dengan lagu dangdut versi dia. Ia lalu akan menyanyikan lagu-lagu yang menghimbau jangan berjudi, berzina atau mabuk-mabukan. Saya menduga Eka membayangkan karakter Kaisar Dangdut ini sebagai Rhoma Irama, dengan beberapa modifikasi bentuk, tentunya. Saya melihat ini sebagai bentuk ‘kenakalan’ seorang penulis.

‘Kenakalan’ lainnya adalah bagaimana Kaisar Dangdut yang membenci politik, namun demi uang dan ketenaran, ia harus rela menjadi tim kampanye pada setiap pemilu yang hasilnya pun sudah diketahui semua orang. Pun tingkah laku penyanyi dangdut wanita yang digambarkan begitu alim dan santun di depan penggemar, ternyata seringkali harus menjadi pemuas nafsu pejabat yang mengundangnya. Sungguh cerita yang ironis. O, monyet betina yang telah menyaksikan sendiri bagaimana kekasihnya telah berubah menjadi manusia dan menjelma jadi kaisar dangdut pujaan banyak wanita, harus membunuh pelan-pelan impiannya untuk menjadi pasangan si monyet.

Keragaman sikap binatang menggambarkan watak manusia yang beragam pula. Melalui konflik yang terjadi di dunia binatang, konflik-konflik mengenai manusia pun dapat tersentuh. Ciri khas Eka yang menghadirkan percakapan-percakan dengan ide yang satir dan menghibur pun menyentil dengan caranya tersendiri merupakan perihal yang tetap terasa dalam cerita semi-fabel ini. Bagaimanapun, kritik atas kehidupan manusia tidak melulu mesti disampaikan dengan manusia itu sendiri.[.]

Comments

  1. Apa pendapat Gabriel Garcia Marquez untuk membuat filem telenovela dari “Kesunyian Seratus Tahun” ?
    Dapatkan jawabannya di dalam wawancara dengan Gabriel (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/09/

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin b...

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam ...

Makna Asketisme di Balik Narasi Fantasi Semua Ikan di Langit

sumber gambar: goodreads.com “ Pada suatu hari, seekor ikan julung-julung membawa saya terbang. ”(hal 2) Cerita fantasi terkadang tidak hanya berpijak di atas landasan khayalan dan imajinasi liar penulis belaka. Adakalanya, sebagaimana didedahkan John Clute and John Grant dalam The Encyclopedia of Fantasy, kisah mitologi dan simbol-simbol religiositas dapat pula jadi bantalan ketika cerita dilentingkan. Sehingga, merujuk mereka, dibalik teks-teks fantasi, akan selalu didapati makna-makna partikular yang bersembunyi dibalik simbol-simbol yang digunakan pengarang. Mungkin pada mulanya adalah George MacDonald yang pertama kali meneroka lanskap fantasi bagi ranah kesusastraan di pertengahan abad ke-19. Ia, melalui The Princess and The Goblin, memukau pembaca sastra Inggris dengan menghadirkan suatu gaya bertutur dan isi cerita yang baru. Sesuatu yang lain. Melalui cerita tentang cerita seorang putri raja yang hidup kesepian di istana di puncak gunung, MacDonald membuat wilay...