Skip to main content

REKONSTRUKSI ASAL-USUL ISLAM DARI KACAMATA REVISIONIS

 

 


 “What can be asserted without evidence can also be dismissed without evidence.”

(Christopher Hitchens)

 

Besar kemungkinan Islam yang kita lihat sekarang ini dijalankan oleh umatnya tidak persis sama, jika tidak ingin dikatakan jauh berbeda, dengan Islam saat pertama kali muncul ke panggung sejarah di jazirah Arab pada masa Nabi Muhammad dan generasi setelahnya. Atau bisa jadi nama Islam itu sendiri muncul jauh lebih belakangan setelah pembawanya tiada. Hal demikian tidak berbeda sebagaimana halnya agama-agama lain seperti Kristen atau Buddha. Dan seperti agama-agama lainnya, Islam berkembang (berevolusi) secara gradual untuk mencapai bentuk yang kita kenal saat ini selama berabad-abad, lebih lama ketimbang yang kita bayangkan.

Itulah beberapa wacana pokok yang ditawarkan oleh sarjana revisionis terkait awal mula kemunculan Islam sebagai agama dan ideologi negara. Kajian revisionis awalnya dipakai sebagai pisau bedah dalam kesarjanaan agama Kristen dan Yahudi dalam menguliti sejarah perkembangan agama Abrahamik tersebut. Kemudian, di pertengahan 1970an, John Wansbrough, seorang sejarawan Amerika mengenalkan metode baru untuk merekonstruksi sejarah awal Islam. Melalui bukunya, Quranic Studies dan The Sectarian Milieu, ia memaparkan hasil penulusurannya merangkai ulang sejarah awal Islam menggunakan sumber-sumber di luar muslim. Bagi dia, sumber-sumber tradisional bukanlah sumber sejarah yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Selain ditulis jauh setelah peristiwa terjadi, sumber-sumber muslim tradisional tersebut tidak bisa dikatakan bersih dari bias kepentingan politik saat teks tersebut ditulis. Sebagaimana kita ketahui, kitab sirah (biografi Muhammad) paling awal yang sampai pada kita adalah Kitab Sirah karya Ibn Ishaq yang dikompilasi lebih satu abad setelah Muhammad meninggal.  Belum lagi, sumber-sumber hadis yang baru ditulis lebih belakangan lagi. Sehingga bagi Wansbrough, sumber-sumber Muslim tradisional tersebut hanya dipandang sebagai salvation history (sejarah penyelamatan), bukan sejarah tenang apa yang sebenarnya terjadi, melaikan apa yang ingin diimani. Akhirnya Wansbrough menggunakan sumber-sumber non-muslim yang sejaman atau paling dekat dengan periode hidup Muhammad. Dan hasil yang dia peroleh, yang kemudian dipaparkan dalam buku tersebut, jauh berbeda dengan apa yang dipahami muslim tradisional.

Sejak itu, metode rekonstruksi sejarah awal Islam dengan menggunakan selain sumber-sumber tradisional menjadi tambah semarak. Beberapa sarjana lain menerbitkan buku hasil penelitian mereka dengan kesimpulan tak kalah provokatif. Seperti beberapa buku yang saya baca belakangan ini, Hagarism karya Patricia Crone dan Crossroads to Islam oleh Yehuda D. Nevo. Gerakan kesarjanaan ini kemudian dikenal sebagai mazhab revisionis, walaupun mereka pun tidak satu suara atas kesimpulan yang mereka ambil.

Andrew Rippin dalam “Literary Analysis of the Qur’an, Tafsir and Sira: The Methodologies of John Wansbrough,” Membenarkan argumen Wansbrough bahwa, kita tidak tahu, bahkan tidak akan pernah tahu, apa yang benar-benar telah terjadi. Yang bisa kita ketahui adalah apa yang diyakini orang yang datang kemudian tentang sesuatu yang terjadi sebagaimana terdokumentasi melalui salvation history.

Dalam Crossroads to Islam, tesis penting Nevo adalah gagasan bahwa Islam dilahirkan sebagai gerakan kaum monoteis dalam konteks yang lebih luas di jazirah arab, dimana kepercayaan monoteis telah dianut secara luas dalam bentuk yang beragam. Dia menyimpulkan komunitas muslim awal lebih beragam dan cair ketimbang bentuk sekarang. Beberapa sarjana menyebut saat itu pengikut Muhammad lebih bersifat sebagai gerakan ekumenis di tengah komunitas Kristen dan Yahudi, ketimbang menjadi agama yang distingtif. Kristalisasi Islam sebagai agama keyakinan yang distingtif itu baru terjadi pada masa pemerintah Umayyah, terutama pada periode Abd al-malik ibn Marwan yang berkuasa pada 687-705 Masehi.

Argumen utama sarjana revisionis ini didasarkan pada kenyataan bahwa sumber-sumber di luar tradisi Islam, terutama yang ditulis penulis Kristen dalam bahasa Suryani, tidak menyebut adanya agama tertentu yang dibawa oleh orang-orang Arab sebelum abad kesembilan. Sumber-sumber yang dimaksud adalah koin Arab dan prasasti yang berasal dari abad ketujuh dan kedelapan, termasuk Kubah Shakhran di Yerusalem. Di bagian timur Mesopotamia ditemukan koin yang berasal dari tahun 660 M. Dengan huruf m-h-m-d, yang bisa dibaca “Muhammad”. Namun demikian, dalam koin tersebut terdapat tanda salib. Bagi mazhab revisionis radikal, kata “Muhammad” itu tidak merujuk kepada figur Muhammad, melainkan sebagai sifat Yesus, “Yang Terpuji”.

Dalam Hagarism, Patricia Crone menawarkan tesis yang tak kalah provokatif. Bagi dia, Islam yang kita kenal sekarang muncul pertama kali sebagai gerakan Yahudi mesianis bukan di Mekah, melainkan di suaru daerah di Hijaz utara. Ideologi keagamaan mereka bersifat monoteistik, walaupun tidak berafiliasi dengan agama tertentu. Pada fase paling awal, mereka membangun aliansi dengan orang-orang yahudi di Palestina. Dalam literatur berbahasa Suryani yang ditulis orang-orang Kristen, gerakan keagamaan di bawah kepemimpinan Muhammad itu disebut “Hajarisme” dengan tujuan menguasai Yerussalem dan merestorasi Hailak Sulaiman.

Kajian revisionis hingga sekarang masih berlangsung di dunia barat. Setelah sarjana-sarjana awal di pertengahan 1970an memaparkan argumennya yang jauh berbeda dengan pemahaman tradisional, hingga sekarang kajian sejarah Islam awal kian semarak dipelajari, terutama di universitas-universitas barat. Di Jerman, ada sebuah paguyuban sarjana yang menamai diri mereka sebagai Mazhab Inarah (Pembaharuan) yang intens melakukan studi terhadap sumber-sumber di luar muslim baik bukti arkeologi, numastik, maupun bukti-bukti literer.

Di Indonesia, adalah Munim Sirry, seorang sarjana muslim yang saat ini berkhidmat menjadi pengajar dan peneliti di Universitas Notre Damme Amerika Serikat, yang mula-mula mengetengahkan kajian Islam revisionis ke tengah meja diskusi dalam negeri. Melalui bukunya yang terbit pada 2015, Kontroversi Islam Awal (salah satu buku yang saya baca terkait tema ini), ia memaparkan dengan rinci asal mula kajian revisionis dan berbagai spektrum pemikiran beberapa sarjana di dalamya yang tidak tunggal. Hingga sekarang, Munim Sirry masih aktif membincangkan kajian Islam revisionis melalui buku-buku dan tulisan maupun tampil di beberapa acara diskusi. Hal ini sangat menggembirakan, mengngat sejak meredupnya ‘dakwah’ Jaringan Islam Liberal yang sempat mencuri perhatian beberapa dekade lalu, praktis belum ada lagi kajian Islam atau agama tandingan yang memantik semangat diskusi. Hal ini sangat penting sebagai pembendung atas derasnya narasi dan doktrin-doktrin agama yang cenderung radikal dan konsevatif belakangan ini. (*)

Sungai Danau, 24 Maret 2024

 

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin buku

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam

Resensi Novel Divortiare

Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama Penulis                 : Ika Natassa Cetakan pertama : 2008 Halaman              : 328 Sinopsis Divortiare dibuka dengan cerita Alexandra Rhea -tokoh sentral novel ini sebagai aku- yang merupakan wanita karir sebagai relationship manager sebuah bank ternama di Jakarta, Alex – begitu ia disapa- baru baru saja pulang dari business trip ke daerah mengunjungi lokasi bisnis salah nasabah perusahaannya.Dalam perjalannanya pulang ke apartemennya ia menelpon Beno Wicaksono, dokter pribadinya, yang juga adalah mantan suaminya sejak dua tahun yang lalu. Alex meminta Beno yang bertugas di sebuah rumah sakit datang ke tempatnya karena ia merasa tidak enak badan semenjak dari tugasnya ke daerah.