Mengais sampah demi rupiah
Awan hitam yang sedari tadi menggantung di langit
Kota Bandung akhirnya tumpah menjadi hujan. Bulir-bulirnya jatuh bergulir dari
angkasa, mengencingi segala sesuatu di bawahnya, termasuk hamparan rumput
sintetis Alun-Alun Kota Bandung. Seorang pria setengah baya yang dari tadi
menggeledah tiap-tiap tong sampah yang ada di pinggir taman itu harus segera menepi
ke sebuah bangunan untuk berteduh. Dengan bergegas, ia menyeret sebuah kantong
plastik besar yang dari tadi dibawanya.
Heru Santoso, anggaplah namanya begitu, mulai
membongkar kantong plastik besar bawaanya sambil menunggu hujan reda. Ia
memilah barang-barang hasil pungutannya, memisahkan antara benda-benda plastik dengan
kaleng dan kertas. Hasil pungutannya hari ini belum seberapa, tidak lebih dari 4
kilogram. Dengan harga beli barang bekas dan rongsokan plastik, kertas dan
kaleng di pengepul sekitar Rp 2.000 – Rp 2.500 per kilogram, maka pendapatannya
hari itu tidak lebih Rp 10.000. Jika tong dan bak sampah yang rutin tiap hari dibongkarnya
itu sedang berbaik hati, biasanya ia mendapatkan penghasilan sekitar Rp 15.000 –
Rp 20.000 tiap harinya. Musim liburan dan akhir pekan, disaat produksi sampah
meningkat, adalah masa panen baginya. Namun, musim penghujan begini seringkali mempersingkat
jam kerja, yang akhirnya ikut menurunkan produktivitasnya.
* * *
Heru Santoso adalah satu dari ratusan pemulung
yang diperkirakan aktif di Kota Bandung. Mereka berkeliaran di pusat keramaian,
pasar dan tempat pembuangan sampah. Mereka mengais sampah untuk mendapatkan rupiah.
Setiap harinya, mereka mengais sampah mulai sebelum matahari terbit dan belum akan berhenti sebelum matahari tenggelam. Dari tumpukan sampah tersebut mereka peroleh limbah plastik, kertas atau kaleng
yang bernilai ekonomis. Beberapa pengepul barang bekas dan rongsokan menerima
hasil pulungan mereka setiap hari.
Di tengah menurunnya kesempatan kerja formal dan
meningkatnya angka pengangguran, jadi pemulung merupakan salah satu pilihan
profesi. Pemulung menjadi alternatif profesi baru oleh sebagian orang yang tersingkirkan
oleh berbagai kebijakan pemerintah dan sektor ekonomi lainnya. Namun demikian
keberadaan pemulung oleh pemerintah hingga saat ini masih dipandang sebagai
profesi yang tidak berkontribusi pada proses pembangunan, bahkan sebagian
masyarakat menganggap bahwa pemulung adalah pihak yang perlu dicurigai
keberadaannya. Padahal aktivitas mereka memungut kembali limbah yang masih bisa
dimanfaatkan setidaknya ikut mengurangi masalah sampah. Kota Bandung yang memproduksi
1.200 ton sampah tiap harinya setidaknya terbantu dengan keberadaan mereka yang
memungkinkan berlangsungnya industri daur ulang. Beberapa industri daur ulang
plastik di Kota Bandung, membutuhkan 5-8 kwintal limbah plastik tiap harinya.
Limbah plastik tersebut akan dicacah menggunakan mesin penghancur untuk
menghasilkan bubur plastik yang menjadi bahan baku tali pastik, alat-alat
kerajinan maupun perkakas plastik lainnya.
Sebagian besar pemulung di kota bandung adalah
tunawisma. Mereka datang dari kota dan pelosok di Pulau Jawa. Heru, misalnya, berasal
dari Cirebon dan baru tiga bulan mencoba peruntungannya di kota ini setelah sebelumnya
berkeliaran di beberapa kota pantai utara dan selatan Pulau Jawa.
Sebab mereka hidup di jalanan, seringkali aparat
tidak bisa membedakan mereka dengan para gepeng dan gelandangan. Di Yogyakarta,
Pemprov memberikan seragam khusus untuk para pemulung sehingga mereka tidak terjaring
operasi penertiban gelandangan.
Selain itu, Dinas Sosial Pemprov DIY memberikan penyuluhan kesehatan dan
estetika. Hal demikian adalah salah satu cara begaimana pemerintah menghargai
pemulung sebagai sebuah profesi yang patut.
* * *
Dari tumpukan limbah
yang sudah dipilah dari plastik kerjanya, Heru mengeluarkan sebuah kotak yang berisi
beberapa sisa makanan yang dipungutnya dari tempat pembuangan sisa makanan di sejumlah
kedai dan rumah makan. Lalu ia menyantapnya dengan nikmat dan tanpa keraguan
sama sekali. Selama ia masih menemukan makanan sisa yang bisa dimakan dan
mengenyangkan, maka ia tidak akan membelanjakan penghasilannya untuk membeli
makanan di warung. Ia memilih untuk mengumpulkan uangnya agar suatu saat bisa dikirim
ke kampungnya di Cirebon[.]
Pak Heru dengan plastik kerjanya
Perda Kota Bandung
Comments
Post a Comment