Skip to main content

My newest book collections



so many books, so little time” (Frank Zappa)
so many books, so little money”(Willy Akhdes)
Last Sunday I went to a bookstore in my city. I’ve not been going to a bookstore for almost a year since I moved to my hometown. As usual, I couldn’t control myself when I was already in the bookstore. My compulsive buying disorder emerged and I couldn’t stick to the plan I made before. I planned to buy not more than 4 books, but I ended up with 7 books in my cart. Yes, I am sophabookholic. I could spend half million in one book shopping session and I acquiesce to shift my other non primary needs budget. I prefer lavishing my penny on books to spending on cloths. But I am not suffering tsundoku which is buying books and letting them pile up unread on shelves or floors or nightstand. I instantly put them on my reading list and finish them up in short time. If American musician Frank Zappa was grumbling about his limited time for reading by saying “so many books, so little time” but I am grumbling about limited money to spend for books, “so many books, so little money”.  
Here 7 books that I bought:


  1. Madilog (Tan Malaka)
It’s been in my whist list for a long time. It is a Magnum Opus from one of the greatest Indonesian founding father. Madilog was written in 1943, it covers all Tan Malaka’s thought s on materialism, dialectics and logic. Tempo magazine put this book in the list of 100 most influence Indonesia nonfiction books.

  1. Cantik itu luka (Eka Kurniawan)
I read so many good critics from goodreads for this work of most inspiring young writer Eka Kurniawan. Eka Kurniawan, said to be following in the giant steps of Indonesia's most famous author, Pramoedya Ananta Toer (known for his anti-colonial and social realism tetralogy, Buru Quartet), is a popular literary young blood who could be as heavily influenced by a host of literary icons. It has been translated to numerous languages such as English, Japanese, Malaysia and others.

  1. Berperang Demi Tuhan (Karen Armstrong)
It will be my second books of theologian Karen Armstrong after A History of God. The escalation of terrorism in recent years is one of the reasons why I want to read this book. For the last decade or so, most of us have had to form some kind of opinion on religious fundamentalism, and it's a subject which can very easily become hysterical, sensational or just terrifying when it's addressed by the mass media. I expect this book can elaborate what happened in fundamentalism world and deliver information dealing with fundamentalist-like religious sects.
   
  1. Maryam (Oky Madasari)
This novel is the awardees of Khatulistiwa Literary 2012. With the tag line about people who is evicted from their homeland by faith is intriguing enough to wake up my curiosity with beauty of Lombok Island as the main location of the story.

  1. The Winter Traveler and Other Stories( Erza S.T)
I chose this travelling journal for its interesting cover and titles and intriguing taglines, 11 countries 20 stories and millions of chill.

  1. Paulo Coelho: Obrolan dengan sang peziarah (Juan Arias)
I bought because on sale price, only 15.000 and for Paulo Coelho reason.

  1. Madre (Dee Lestari)
Dee Lestari, is one of the bestselling and critically acclaimed writers in Indonesia and one of my favorite writer. Initially I wanted to buy Intelegensia Embun Pagi, but I canceled my whist since It’s so expensive 110.000!


       





Comments

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin buku

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam

Makna Asketisme di Balik Narasi Fantasi Semua Ikan di Langit

sumber gambar: goodreads.com “ Pada suatu hari, seekor ikan julung-julung membawa saya terbang. ”(hal 2) Cerita fantasi terkadang tidak hanya berpijak di atas landasan khayalan dan imajinasi liar penulis belaka. Adakalanya, sebagaimana didedahkan John Clute and John Grant dalam The Encyclopedia of Fantasy, kisah mitologi dan simbol-simbol religiositas dapat pula jadi bantalan ketika cerita dilentingkan. Sehingga, merujuk mereka, dibalik teks-teks fantasi, akan selalu didapati makna-makna partikular yang bersembunyi dibalik simbol-simbol yang digunakan pengarang. Mungkin pada mulanya adalah George MacDonald yang pertama kali meneroka lanskap fantasi bagi ranah kesusastraan di pertengahan abad ke-19. Ia, melalui The Princess and The Goblin, memukau pembaca sastra Inggris dengan menghadirkan suatu gaya bertutur dan isi cerita yang baru. Sesuatu yang lain. Melalui cerita tentang cerita seorang putri raja yang hidup kesepian di istana di puncak gunung, MacDonald membuat wilay