“Ya Tuhan, Yang Empunya surga dan dunia, aku rela menukar satu hari
hidupku untuk satu detik bahagia! Seluruh hidupku untuk sepiring kacang merah!
Dengarlah padaku satu kali ini saja!” (Lapar, hal 190)
Saya membaca roman klasik
berjudul asli Sult (Bahasa Norwegia)
yang terbit tahun 1890 ini setelah mengetahuinya dari jurnal Eka Kurniawan yang
menyebut bahwa ia tak akan menjadi penulis bila tak pernah membaca karya
penerima hadiah nobel sastra 1920 ini. Dan setelah selesai membaca “Lapar” ini,
saya dapat memahami hal tersebut. Dalam karya yang dianggap melambungkan
namanya ini, Knut Hamsun menggambarkan, tokoh utama ‘aku’ sebagai seorang
penulis lepas yang berjuang melawan hidupnya terlunta-lunta, ditengah ambisinya
menjadi penulis dan berusaha terus menulis suatu karya yang ia pikir akan
melambungkan namanya suatu saat.
Knut Hamsun yang terlahir dengan nama asli Knut Pedersen ini adalah
peraih nobel sastra pada tahun 1920. Ia lahir di Gudbransdal, Norwegia Tengah
pada 4 Agustus 1859 dan meninggal pada 1952. Konon, Lapar adalah refleksi dari
pengalaman hidup masa muda Hamsun sendiri. Dalam novel ini ia
menggambarkan betapa durjana dan sengsaranya hidup seorang penulis, yang harus
berjuang susah payah untuk bertahan hidup di Kota Kristiania (Oslo sekarang). Knut
Hamsun menggambarkan perjalanan hidup tokoh utama dengan bahasa miris dan mendalam,
yang menyayat hati. Meski narasi cerita berjan dengan lambat, namun kedalaman
gambaran hidup si ‘aku’ ini, akan membuat kita terhanyut dan tanpa terasa sudah
mendekati halaman terakhir novel setebal 284 halaman ini. Saya pun
menyelesaikannya dalam sekali duduk, dalam 4 jam durasi membaca.
Cerita dibuka dengan pengenalan
lanskap cerita, dimana tokoh ‘aku’ tinggal di sebuah loteng sewaan sederhana yang
uang sewanya belum dibayar beberapa bulan. Kemudian, seperti hari-hari
biasanya, ia akan berjalan ke taman kota, dalam keadaan lapar belum makan berhari-hari, untuk menulis dengan esai dan artikel
yang akan ia kirim ke koran. Dalam perjalanannya ke taman kota, ia berpapasan
dengan seorang pengemis yang meminta uang. Ia pun rela menggadaikan jas yang ia
kenakan demi memberi pengemis itu uang. Begitulah, dalam kemiskinannya, ‘aku’
digambarkan sebagai orang yang berhati mudah luluh dan kasihan. Ia akan
menolong orang-orang miskin dan gelandangan di tengah keadaan dirinya yang
tidak punya uang. Namun, pada sisi berlawanan, terkadang ia pun melakukan
tindakan-tindakan menipu untuk mendapatkan sesuatu. Sehingga menimbulkan
kecamuk dan pertentangan di dalam dirinya. Novel ini menggambarkan dengan apik
pergolakan batin penulis karangan Knut Hamsun ini yang pada akhirnya ia
menyerah menjadi penulis, dan berakhir menjadi awak kapal yang kamudia berlayar
meninggalkan Norwegia dan segala cerita perjuangannya disana.
Comments
Post a Comment