Skip to main content

Ilusi dan Perlawanan Seorang Vegetarian

                                                     (sumber gambar: goodreads.com)


    Jika Gregor Samsa terbangun suatu pagi dari mimpi buruk dan mendapati dirinya berubah menjadi seekor kecoa yang menakutkan, maka Young Hye terbangun dari mimpi buruknya dan menyambangi kulkas untuk kemudian membuang seluruh daging di dalamnya. Ia, dengan suatu alasan ganjil: mimpi buruk, tiba-tiba memutuskan menjadi seorang vegetarian dalam satu malam yang kelak memunculkan petaka di tengah keluarganya.
    Meski ada beberapa kesamaan nada dan ekspresi dalam novel ini dengan Metamorfosis-nya Franz Kafka, namun Vegetarian menyajikan kebaruan dan semangat perlawanan atas nilai dan norma yang dianggap mapan dan baku dalam masyarakat. Novel karya penulis Korea Selatan ini, Han Kang, memenangi Man Booker International Prize 2016 dengan menyisihkan penulis terkemuka lainnya seperti dua penerima Nobel Sastra, Orhan Pamuk dan Kenzaburo Oe, serta  novelis tanah air paling bersinar, Eka Kurniawan.
Young Hye adalah tokoh sentral dalam novel yang pertama kali terbit di Korea Selatan pada 2007. Meski demikian, Han Kang nyaris tidak memberikan suara kepada Young Hye. Novel Vegetarian disajikan dalam tiga bagian penceritaan, masing-masing adalah suami Young Hye, kakak iparnya dan kakak perempuannya. Yeong Hye, seorang perempuan yang digambarkan oleh suaminya sebagai seorang yang biasa yang tampak tak memiliki pesona maupun kekurangan khusus (hal 5), justru tak mendapat kesempatan bersuara. Akan tetapi, melalui kelihaian bernarasi, Han Kang berhasil membenamkan Young Hye ke benak pembaca sejak halaman pertama.
    Pembaca hanya mendengar sedikit tuturan Young Hye pada bagian pertama perihal ketakutan dan kengerian yang dialaminya dalam mimpi absurd nan ganjil. Dalam mimpi, ia mendapati dirinya berlari di tengah hutan antah-berantah yang gelap, dikejar ketakutan tersebab oleh daging bangkai dan darah yang melumuri tubuhnya.
    “Namun, aku ketakutan. Darah masih mengotori bajuku. Saat tak ada yang memperhatikan aku meringkuk bersembunyi di balik pohon. Tanganku berlumur darah. Bibirku berlumur darah. Mungkin aku memakan bongkahan daging yang terjatuh di lumbung itu. Mungkin darah merah dari daging mentah yang empuk melumuri gusi dan langit-langit mulutku.” (hal 15-16).
     Selebihnya, pembaca melihat Young Hye dari perspektif tiga orang pencerita dalam novel sepanjang 222 halaman ini. Di bagian pertama, suami Yeong Hye menuturkan kekesalannya atas pilihan istrinya menjadi vegetarian secara tiba-tiba dan dengan alasan tak masuk akal. Istrinya tersebut telah membuatnya malu di depan rekan kerja dan atasannya di kantor disebabkan tak mau daging di acara pesta makan malam. Padahal makan daging adalah bagian dari tradisi Korea, terutama pada acara-acara penting seperti perjamuan dan pesta tertentu.

Simbolisme dan metafora
    Di bagian kedua, Han Kang memakai perkakas simbolisme dan metafora guna menggambarkan pergolakan batin yang dialami Young Hye atas keputusannya tidak makan daging serta mimpi buruk yang terus menghantui. Sang kakak ipar, narator pada bagian ini, adalah seorang seniman yang terobsesi pada tanda lahir kebiruan (mongolian mark) yang dipunyai Young Hye. Gambar-gambar bunga yang dilukis oleh kakak ipar di tubuh Young Hye seolah menggambarkan apresiasinya atas Young Hye yang mendapatkan kedamaian dan terhindar dari mimpi buruk dari lukisan tersebut.
    Hubungan terlarang pun terjadi antara Young Hye dengan kakak iparnya. Seakan Young Hye menemukan jalan lain memperoleh kebahagian, di luar jalan yang ditawarkan, serta menjadi cara ia untuk berdamai dengan mimpi buruk yang terus menghantui.
    Simbolisme dan metafora yang dipakai Han Kang terasa memuncak di bagian ketiga. Yaitu pada saat Young Hye, dalam perawatan intensif di rumah sakit jiwa karena ia dianggap mengalami gangguan mental, dipaksa untuk makan, namun ia menolak dan mengaku telah berubah menjadi pohon sehingga tak perlu lagi makanan.
    “Aku tidak perlu makan nasi. Aku bisa hidup. Asal ada cahaya dan matahari.”(hal 186)
    Langkah ayah Young Hye yang memaksa anaknya makan dengan menjejalkan daging ke mulutnya adalah representasi bagaimana pemaksaan kehendak justru berujung petaka. Young Hye memilih mencelakai diri dengan menyayat tangannya daripada harus memakan daging.

Ilusi dan Perlawanan
    Han Kang, melalui novel ini, tidak hendak mendakwahkan tentang gaya makan vegetarian, pun bermaksud mendedahkan akibat dari pilihan cara makan tersebut. Vegetarian, dalam keindahan narasi dan keabsurdan kisahnya, dapat dimaknai sebagai usaha mempertahankan jati diri yang berbeda dari konsensus masyarakat.
    Ilusi Young Hye yang menganggap dirinya adalah sebatang pohon dan lukisan bunga pada tubuhnya secara simbolis patut benar untuk ditafsirkan sebagai perlawanan seorang perempuan atas norma dan nilai yang mengukung kebebasan dan ekspresinya. Melalui Young Hye, Han Kang sepertinya hendak menyampaikan bagaimana ketentuan dan cara hidup yang telah baku bisa saja tidak tepat untuk diejawantahkan pada semua orang.
     Di luar semua itu, melalui Vegetarian, pembaca tanah air bakal tercerahkan bahwa Korea ternyata tidak melulu perihal k-pop, drama opera sabun, atau pun gawai keluaran teranyar. Korea pun menawarkan bacaan sastra yang patut dinikmati dan, yang paling penting, memberi kemungkinan pemaknaan yang lain akan nilai-nilai kehidupan.[]

Identitas buku
Judul: Vegetarian
Judul asli: Ch’aesikjuuija (bahasa Korea)
Penerbit:  Baca
Penerjemah: Dwita Rizkia
Cetakan I: Februari 2017
Tebal: 222 halaman
ISBN: 978-602-6486-07-3
Harga; Rp 65.000


Terbit pertama kali di kibul.in



Tulisan lainnya:
1. Semua Ikan di Langit
2. Hikayat Tirai Besi
3. Pedro Paramo
4. Lelaki yang Kembali Menemukan Bayangan Melalui Mimpi

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin buku

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam

Makna Asketisme di Balik Narasi Fantasi Semua Ikan di Langit

sumber gambar: goodreads.com “ Pada suatu hari, seekor ikan julung-julung membawa saya terbang. ”(hal 2) Cerita fantasi terkadang tidak hanya berpijak di atas landasan khayalan dan imajinasi liar penulis belaka. Adakalanya, sebagaimana didedahkan John Clute and John Grant dalam The Encyclopedia of Fantasy, kisah mitologi dan simbol-simbol religiositas dapat pula jadi bantalan ketika cerita dilentingkan. Sehingga, merujuk mereka, dibalik teks-teks fantasi, akan selalu didapati makna-makna partikular yang bersembunyi dibalik simbol-simbol yang digunakan pengarang. Mungkin pada mulanya adalah George MacDonald yang pertama kali meneroka lanskap fantasi bagi ranah kesusastraan di pertengahan abad ke-19. Ia, melalui The Princess and The Goblin, memukau pembaca sastra Inggris dengan menghadirkan suatu gaya bertutur dan isi cerita yang baru. Sesuatu yang lain. Melalui cerita tentang cerita seorang putri raja yang hidup kesepian di istana di puncak gunung, MacDonald membuat wilay