Ini adalah novel pertama penulis
India, Arundhati Roy, dan merupakan karya fiksi satu-satunya hingga sekarang.
Buku ini terbit pertama kali di Inggris pada 1997 dan meraih Man Booker Prize
pada tahun yang sama (dulu disebut Booker Mc Connell). Sejak terbit, buku ini
mendapat tanggapan dari dua ‘kubu’ yang bertolak belakang: yang satu
menyanjungnya setinggi langit dan yang lain menganggapnya “buku sampah yang tak
harus dibaca”.
Kebanyakan dari kelompok yang tak
bisa menerima novel ini disebabkan adegan seksual yang tak bermoral dan
hubungan seksual yang tak dapat diterima, selain isu-isu sosial yang menyerang
adat istiadat yang telah menjadi tradisi masyarakat India, yang menjadi latar
utama novel ini.
Pada tahun terbitnya novel ini,
seorang pengacara India menggugat Arundhati Roy , atas nama ‘kepentingan umum’,
ke pengadilan karena adega seks yang jorok pada novelnya ini dan dituduh dapat
merusak moral anak muda. Hiruk pikuk yang muncul setelah novel ini beredar di India,
membuat Arundhati Roy terpaksa menyingkir dari keramaian publik beberapa saat
untuk menghindari amuk masa.
Mengapa novel The God of Small Things menimbulkan gelombang? Dinamit macam apa
dikandung novel ini? Jika novel ini dibaca dengan kacamata koservatif dan
literal, memang pembaca akan mendapati
pelanggaran batas-batas norma dan susila. Bagaimana tidak, hubungan seksual
pasangan yang tak terikat pernikahan dan berbeda kasta lumrah didapati. Bagi
masyarakat India, kasta adalah nilai tatanan sosial yang mereka junjung tinggi.
Belum lagi hubungan inses antara dua anak kembar Rahel dan Estha, tokoh sentral
cerita, sungguh tak dapat diterima. Ditambah adegan perlakuan seksual
menyimpang, membuat kesan jorok dan tak bermoral menempel di novel ini.
Hanya saja, jika mau membaca dengan
pikiran terbuka, dan siap menerima wacana/pemikiran yang disampaikan penulis
dibalik narasi yang dianggap ‘jorok’ tersebut, maka akan didapati makna
mendalam dibalik cerita yang disuguhkan. Perlawanan dari orang dan ihwal yang terpinggirkan
adalah nilai lain dalam novel ini. Latar novel ini adalah sebuah desa di negara
bagian Kerala, sebuah kawasan yang secara sosio-kultural maupun politis sangat
menarik. Kawasan di barat daya ini (yang aroma lahan basahnya berupa rawa dan
sungai merebak di seluruh halaman novel ini) merupakan negara bagian yang
menggabungkan penduduk yang berbahasa Mayalayam. Sejarah Kerala menunjukkan
keragaman budaya dengan interaksi yang diperumit oleh kolonialisme Inggris dan
Portugis. Agama, Hindu, Islam dan Kristen berkembang di sana. Pada saat yang
sama, komunisme juga berkembang dengan subur.
Novel ini menghadirkan secara kental
dan akrab warna alam maupun latar sosial budaya Kerala tersebut. Tetapi pada
saat yang sama novel ini menghunjamkan suatu gugatan kemanusian yang tajam atas
nilai-nilai yang dianut masyarakat Kerala. Novel ini memperlihatkan komunisme
maupun agama yang mengajarkan kesetaraan manusia ternyata sama sekali tidak
mengubah sistem pembedaan manusia yang
sangat diskriminati dan patriarkis, yang sudah berabad-abad disakralkan
masyarakatnya. Novel ini menggugat kenyataan sosial budaya yang mendasar dan
sekaligus sangat sensitif bukan saja di India, tapi juga di seluruh dunia.
Ternyata, berbagai ajaran cinta kasih dan kemanusiaan tak bergeming di hadapan
kekerasan hati manusia yang ingin meninggikan diri di hadapan kelompok lain
yang karena satu dan lain hal dianggap najis, tak sama dan tak layak
berdampingan dengan ‘kita’. Pemisahan itu bisa didasarkan atas kasta, ras,
etnis, kelas, agama, orientasi seksual atau lainnya.
Dalam tuntutan di pengadilan,
penuntut meminta agar bab terakhir di novel ini dihilangkan. Padahal bab itu
adalah bagian paling indah di novel ini, yang menjadi klimaks maupun alur.
Melalui kilas balik yang menghadirkan masa lampau menjadi masa kini yang abadi,
digambarkan persetubuhan dua manusia yang diharamkan, yaitu antara Ammu,
seorang pemilik pabrik, janda muda yang jelita, dengan Velutha, seorang pemuda
rajin nan lembut namun datang dari kasta terendah. Bagian ini menjadi menyentuh
karena di awal cerita telah digambarkan bagaimana kedua pecinta tersebut telah
dihukum secara tragis sebelumnya atas kenekatan mereka, si perempuan telah
diusir dari keluarga dan dibiarkan mati dalam kemiskinan, yang laki-laki
dihancurkan wajah dan tubuhnya dibawah sepatu lars polisi. Yang menggilas kedua
kekasih itu adalah kekuatan-kekuatan yang mengatasnamakan tradisi, kestabilan,
nama baik: semua Yang Maha Besar yang mendapat dukungan panjang dan rumit dari
sejarah masa lalu.
Dengan memakai perspektif Yang Maha
Kecil, hal-hal yang tertindas, novel hendak menyampaikan bagaimana
ketidakmampuan yang tertindas tersebut meraih keinginannya. “Jika mencium ia tak bisa memeluk, jika
memeluk ia tak bisa menyentuh, jika berperang ia tak mungkin menang.” (hal 404).
Namun pada waktu yang sama, hal-hal kecil tersebut terlihat mengagumkan bagi
anak-anak kecil yang masih suci, kembar sepasang Rahel dan Estha, anak Ammu
dari suami pertama yang dianggap sebagai aib keluarga karena hasil dari
hubungan tak direstui, Kristen dan Hindu. Ironisnya justru perasaan rapuh
itulah yang kelak menghantarkan kedua anak itu untuk dilibatkan secara kejam
oleh nasib dan kekuasaan sejarah dalam tragedi yang memisahkan mereka dari
orang-orang yang mereka cintai.
Novel ini dikisahkan dengan alur
maju mundur yang, jika tak diperhatikan benar, terlihat rumit dan dapat membuat
pembaca ‘hilang’ di tengah cerita. Cerita yang dimulai sejak pasca kolonial
hingga tahun 90an disampaikan dengan alur yang perbutar sepeti spiral. Segala sesuatu
yang terjadi di novel ini sudah dibukakan sejak bab pertama, sehingga tak ada
yang tersembunyi. Tidak ada akhir yang mengejutkan sebab bukan itu yang membuat
novel ini menarik. Daya tarik novel ini adalah kelengkapan mozaik yang maik
lama makin memperkaya gambaran yang telah disuguhkan di awal. Dengan cara ini,
setiap bab menambah dimensi lain dan beberapa tokoh, mengisi lempengan alur,
merangkai imaji-imaji yang menguatkan tema utama. Deskripsi yang rinci tentang
makhluk-makhluk keci ldi semak-semak dan tanah, misalnya, bertaut sampai akhir
cerita.
Selain itu, yang membuat novel ini
memukau adalah kemampuan Arundhati Roy menyajikan adegan dalam kalimat
metaforis. Hampir setiap kalimat terdiri dari imaji-imaji yang disusun dengan
cara perbandingan langsung (simile)
atau tidak langsung (metafora). Penggunaan kata-kata abstrak menyuruh pembaca
untuk menafsirkan makna dibaliknya.
Novel ini bisa dijadikan bahan
pembuka diskusi berkaitan masalah gender dan seksualitas, representasi kelas,
agama, etnisitas dan ras, identitas budaya dan posisi postkolonial, sejarah dan
ideologi kekerasan negara hingga kekerasan rumah tangga. Bagaimanapun, sebuah
karya sastra akan terasa pengaruhnya jika dikaji dan dianalisa dalam konteks ia lahir dan hubungannya dengan
kondisi kita saat ini. Dari sana pelajaran berharga yang memajukan manusia
dapat kita peroleh.[]
Ini dapat di mana bukunya will?
ReplyDeleteminjam di kineruku, manda
Delete