Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Penulis :
Eka Kurniawan
Cetakan pertama :
2004 (Telah diterbitkan sebelumnya oleh AKY Press pada 2002)
Cetakan 19 :
2016
Halaman :
479
Penghargaan :
World Readers’ Award 2016 (Winner)
Publishers Weekly’s Best Books of
2015
The New York Times’ 100 Notable
Books of 2015
The Financial Times’ Best Books of
2015
Kirkus Review’s Best Fiction Books
of 2015
Flavorwire’s The Best Fiction 2015
The Boston Globe’s The Best Books
of 2015
Harper’s Bazaar’s 15 Best Books of
2015
Commonwealth Magazine’s Best Books
of 2015
Novel ini merupakan novel debut Eka Kurniawan yang langsung
melambungkan namanya dan masuk dalam sorotan kesusastraan dunia, terbukti
dengan diberikannya penghargaan oleh World Readers Award 2016 di Hongkong,
bersamaan dengan masuknnya Eka ke dalam daftar panjang (longlisted) The Man
Booker International Prize 2016, sebuah penghargaan dunia sastra tingkat
internasional yang bergengsi dan prestisius, setingkat di bawah Nobel, atas
novelnya yang kedua, Lelaki Harimau.
Cantik Itu Luka telah dialih
bahasakan kedalam 25 bahasa, setidaknya sampai tahun 2016. Benedict Anderson,
seorang Indonesianis, dengan yakin mengatakan bahwa Pramoedya Ananta Toer
telah menemukan penerusnya dengan lahirnya Cantik Itu Luka ini. Memang Cantik
Itu Luka mengambil plot waktu sejak masa kolonial sampai pasca kemerdekaan
dengan latar kehidupan realis sosial sebagaimana banyak kita lihat pada karya
Pramoedya dibalut dengan gaya realisme magis ala kanon sastra Amerika Latin. Citarasa tersebut telah terbaca sejak halaman pertama. Lihat bagaimana Eka memulai Cantik Itu Luka:
“Sore itu di
akhir bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun
kematian. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah
pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat
dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan
dilemparkan ke tengah mereka.”
Membaca halaman pertama buku ini
langsung menggiring saya ke dalam dunia gubahan Eka yang segala ada. Seperti
tengah membaca karya sastra klasik kelas dunia. Aroma realisme magis khas Gabriel García
Márquez jelas terhidu dengan tajam, berjalin kelindan dengan narasi dongeng novel-novel horor serta cerita silat stensilan ala Abdullah Harahap dan Kho Ping Hoo. Halimunda, tempat sentral dalam
novel ini, digambarkan sebagai kota kecil di pantai selatan Pulau Jawa yang
mengalami semua peristiwa tragedi sejarah republik ini sejak masa kolonial hingga
beberapa dekade setelahnya. Gambaran kota imajiner tersebut sungguh nyata layaknya lanskap Macondo dalam One Hundred Years of Solitude gubahan Marquez.
Dewi Ayu, seorang perempuan
keturunan Indo-Belanda, menjadi tokoh sentral cerita. Ia memilih tinggal
menetap di Halimunda ketika keluarganya kembali ke Belanda pada saat Belanda
kalah perang dan harus menyerahkan kekuasaan kepada Jepang. Pada masa pendudukan
Jepang ia ditangkap lalu dijadikan pelacur di barak-barak tentara Jepang.
Setelah kemerdekaan, ia tidak meninggalkan profesinya itu dan menjadi pelacur
paling ternama di Halimunda. Dari sini lah cerita digelar. Dewi Ayu melahirkan
tiga orang anak perempuan yang sangat cantik, serupa dirinya, tanpa jelas siapa
ayahnya. Masing-masing anaknya tersebut memiliki kisah tersendiri yang tragis
dan mengenaskan. Meski dibalut dalam cerita kehidupan pribadi keluarga Dewi
Ayu, namun isu-isu sosial politik yang terjadi sepanjang cerita sepertinya
adalah isu sentral yang ingin dibicarakan Eka, namun disuguhkan dalam cerita
roman kehidupan. Hal itu terlihat dari tiga laki-laki yang menikahi anak Dewi
Ayu, memiliki latar sosial politik berbeda, Shodanco adalah seorang komandan
militer yang pernah melakukan pemberontakan pada masa pendudukuan Jepang,
Kameran Kliwon seorang aktivis komunis dan Maman Gendeng seorang preman yang
paling disegani di Halimunda. Segala intrik sosial tersaji dengan rapih.
Alur plot yang meloncat maju
mundur tidak membingungkan, justru menambah rasa penasaran dan tetap menjaga
pembaca tenggelam dalam cerita sampai selesai. Semua hal-hal dan kejadian kecil
yang terjadi dan melekat pada setiap tokoh akan mejadi kunci sambungan pada
cerita berikutnya. Tidak ada yang terjadi begitu saja tanpa maksud. Meski
setiap tokoh mendapat jatah penceritaan dalam setiap bab dengan alur maju
mundur dan terlihat seperti berdiri sendiri, namun semuanya akan terjalin dan
saling berhubungan pada akhir cerita. Bagitulah Eka menuturkan ceritanya, teratur
dalam ketidakteraturan.
Dua belas hari sebelum kematian
Dewi Ayu, ia melahirkan bayi keempat dalam usianya yang sudah tua. Ia tidak
menginginkan lagi anak yang cantik, dan seperti itulah yang kemudian lahir,
seorang bayi perempuan buruk rupa, namun secara ironis dia memberi nama Si
Cantik.Semua tokoh dalam novel ini
memiliki karakter yang kuat, seolah-seolah keluar Dewi Ayu dan Halimunda ini benar-benar
ada dalam sejarah. Kalimat-kalimat pembicaraan antar tokoh maupun narasi cerita
sangat terasa seperti sindiran satir terhadap kejadian yang memang terjadi
dalam sejarah Indonesia. Seperti nisan Krisan, salah seorang cucu Dewi Ayu,
yang telah mati dibunuh seorang pemuda karena berebut seorang perempuan,
kemudian diubah menjadi Anjing (1966-1997). Dan kenapa anjing, itu juga ada cerita
dibaliknya.
Setelah membaca novel ini, saya
tidak sabar untuk membaca karya-karya Eka Kurniawan selanjutnya. Tidak
diragukan lagi ia adalah penulis Indonesia yang akan bersinar terang dalam
khasanah sastra dunia dan karyanya akan selalu dinanti. Cantik Itu Luka adalah novel
debut yang luar biasa yang wajib dibaca penikmat sastra.
Comments
Post a Comment