Dulu
Srintil sangat percaya bahwa penghayatan versi ronggeng lebih unggul karena
tiadanya tertib susila, sehingga wilayah penghayatannya adalah kelelakian
secara umum, bukan kelelakian dalam diri seorang lelaki tertentu.
Karenanya dulu Srintil yakin menjadi seorang ronggeng lebih terhormat daripada
menjadi seorang perempuan
somahan. —Ronggeng Dukuh Paruk.
Dukuh
Paruk adalah pedukuhan terpencil di pedalaman Jawa. Dalam roman karya Ahmad
Tohari ini, tergambarkan dengan jelas sisi-sisi kehidupan rakyat jelata pada
masa tahun 1960an, dan pergesekannya dengan kedigdayaan politik pada pergolakan
pergantian penguasa pada 1965 dan setelahnya. Novel ini merupakan trilogi dari
tiga novel: Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan
Jantera Bianglala (1986). Kemudian diterbitkan ulang dalam satu kesatuan
Ronggeng Dukuh Paruk pada 2003 dengan memasukkan kembali bagian-bagian yang
disensor pada zaman orde baru.
Tokoh
sentral dalam cerita ini adalah Srintil dan Rasus, dua anak Dukuh Paruk.
Srintil adalah gadis kencur yang belum
sekali pun melihat pentas ronggeng, tiba-tiba menembang dan menari dengan
begitu gemulai, erotis dan sensual, maka kemudian segenap orang di pedukuhan
percaya bahwa Srintil telah dirasuki roh indang ronggeng, wangsit yang
dimuliakan di dunia peronggengan. Srintil tak ayal didapuk menjadi
ronggeng Dukuh Paruk, setelah sepuluh tahun lebih mereka tak mempunyai seorang
ronggeng. Rasus, bocah lelaki yang berusia sedikit di atas Srintil, adalah
teman sepermainan Srintil dari masa kecil, lantas ia melihat sosok Srintil
sebagai penjelmaan ibunya yang sejak ia bocah sudah tidak bersamanya, entah
meninggal atau dibawa lari seorang mantri. Dengan kerinduan akan sosok
perempuan dalam hidupnya itulah Rasus mengagumi Srintil, sampai suatu masa saat
Srintil didaulat menjadi ronggeng, yang berarti milik semua orang, menimbulkan
kelukaan hati mendalam bagi Rasus. Lalu ia meninggalkan Dukuh Paruk demi
mengubur kenangan pahit, pengembaraanya membawanya pada nasibnya menjadi
seorang tentara, yang kelak membawanya kembali ke tanah airnya Dukuh Paruk.
Pada
awal pengisahan, desa Dukuh Paruk digambarkan desa tertinggal yang penduduknya
hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan jauh dari pendidikan agama. “Dukuh Paruk
hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada
sumpah serapah, dan ada rongggeng bersama perangkat calungnya”. (Tohari, 2011:15).
Kebodohan membuat Dukuh Paruk hidup dalam kemiskinan bahkan mengarah pada
tabiat buruk karena tidak didasari pula oleh nilai dan norma agama. Pengetahuan
sempit yang dimiliki oleh warga Dukuh Paruk menjadi refleksi akan keterpurukan
pendidikan rakyat Indonesia yang dibuktikan dengan banyaknya penduduk Indonesia
yang buta aksara. Kebodohan membuat penduduk terkungkung dan sulit untuk dapat
lepas dari jerat kemiskinan.
Selain
karena faktor kemiskinan yang mengarah pada kebodohan, faktor lain yang menjadi
dasar penyimpangan perilaku warga Dukuh Paruk adalah sistem kepercayaan.
Sesungguhnya, manusia bebas memilih apa saja yang pantas dianggap sebagai
Tuhan, selama kepercayaan terhadap Tuhan tersebut memberi banyak faedah di
kehidupan. Warga Dukuh Paruk menyembah makam Ki Secamenggala yang diyakini
sebagai nenek moyang pendiri desa Dukuh Paruk. Segala mala petaka dan rezeki
diyakini berasal darinya. Penyembahan tanpa edukasi ini membuat warganya
terkesan berkeyakinan animisme yang tidak memberi manfaat berupa tuntunan hidup
Warga
Dukuh Paruk meyakini bahwa menghadirkan kembali ronggeng yang telah mati akan
menyenangkan hati Ki Secamenggala. Hal ini pulalah yang mendorong Srintil untuk
mengabdikan diri menjadi Ronggeng Dukuh Paruk, meski ia tahu konsekuensi
yang akan diterimanya kelak. Kepercayaan akan Ki Secamenggala benar-benar
mengakar. Tidak jelas benar dasar apa yang membuat warga Dukuh Paruk menyembah
Ki Secamenggala yang tidak banyak memberikan nilai budi luhur hidup itu. Tapi
sesungguhnya, yang terjadi di Dukuh Paruk merupakan refleksitas atas
kepercayaan animisme di Indonesia yang tidak sedikit melahirkan ideologi yang
menyimpang.
Perempuan
Seni Bercitra Sensual
Daerah
di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai tradisi dan seni selalu memiliki
perempuan “maskot” sebagai daya tarik sekaligus penghibur masyarakat sekitar.
Karena tidak didasari oleh nilai agama dan moral, kehadiran ronggeng dalam
Dukuh Paruk tidak hanya berguna menjadi penghibur yang membawa nama seni,
melainkan liukan tubuh yang penuh sensualitas juga mengarah pada komoditi
perdagangan seksualitas. Hal inilah yang menjadi tolakan dasar pencitraan
perempuan dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk sekaligus
penggambaran akan fenomena hegemoni patriarki perempuan kedaerahan di
Indonesia.
Ronggeng
merupakan refleksi atas fenomena seksualitas perempuan seni Indonesia. Jaipong
pada masyarakat Sunda, Tayub pada masyarakat Tuban, dan Gandrung pada
Banyuwangi merupakan bukti nyata bahwa perempuan di Indonesia melestarikan seni
dengan budaya tari yang melegenda. Namun sesungguhnya, yang terjadi adalah
penyiaran tubuh perempuan amoral yang penuh nuansa seks.
“Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan
oleh seorang ronggeng yang sebenarnya, juga diperbuat oleh Srintil saat itu.
Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan
memukau laki-laki dewasa mana pun yang melihatnya. Seorang gadis kencur seperti
Srintil telah mampu menirukan dengan baiknya seorang ronggeng.” (Tohari,
2011:13).
Seorang
penari ronggeng menempati posisi yang sama dengan penari jaipong, tayub, dan
gandrung. Sama-sama mengandung wacana seksualitas membuat seni tari tak hanya
sekadar melestarikan kebudayaan tetapi lebih mengarah pada bisnis bernuansa
seksual.
Praktik
Jual-Beli Tubuh Perempuan
Untuk
menjadi seorang ronggeng yang sebenarnya, ada beberapa tahapan yang harus
dilalui oleh calon ronggeng. Salah satu di antaranya adalah tradisi
bukak-klambu, “Bukak klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki
manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang
dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak
menikmati virginitas itu.” (Tohari, 2011:51). Virginitas seorang ronggeng yang
dinilai sangat berharga merupakan peluang emas bagi beberapa pihak. Pihak yang
paling rakus dalam meraup keuntungan atas tubuh srintil, yakni Kertareja dan
istrinya (mucikari). Mereka berdua adalah pengasuh sekaligus penadah rupiah
dari jual-beli seksualitas yang dilakukan oleh ronggengnya.
Penistaan
Hak Asasi Perempuan
Perempuan
yang menyandang status sebagai ronggeng harus merasakan kehidupan di dalam
sangkar emas. Bergelimang harta sekaligus bergelayut nestapa membuat nasib
seorang ronggeng digantung pada pertengahan surga dan neraka. Hal yang sadis
dan paling tidak berkeperimanusiaan adalah pembunuhan indung telur yang
dilakukan oleh Nyai Kartareja terhadap Srintil. Penekanan perut yang dapat
merusak rahim membuat Srintil mandul sehingga ia dapat terus melayani laki-laki
hidung belang tanpa khawatir akan kehamilan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan
hak asasi manusia, khususnya pada perempuan.
Seorang
ronggeng di Dukuh Paruk haram hukumnya bila jatuh cinta terhadap seseorang.
Srintil yang jatuh cinta kepada Rasus harus memendam hasrat membina hubungannya
dalam-dalam bersama Rasus karena seorang ronggeng bertugas memuaskan nafsu
semua laki-laki. Bukan khusus pada perseorangan, “Lebih-lebih lagi bila Srintil
sampai berpikir tentang sebuah rumah tangga yang hendak dibangunnya. Martabat
mereka sebagai dukun ronggeng berada dalam taruhan, dan sumber penghasilan
mereka yang subur terancam bahaya.” (Tohari, 2011:115). Sangat jelas bahwa hak
perempuan untuk menjalani kehidupannya telah seutuhnya dirampas. Perempuan
dihadirkan dengan rahim untuk mengandung keturunannya. Pelarangan akan hal ini
sama saja menciptakan mayat hidup di bumi. Seorang perempuan tidak akan menjadi
perempuan seutuhnya apabila haknya untuk menjadi seorang ibu terampas.
Kekisruhan
Politik
Beranjak
pada tahun 1960an awal ketika Indonesia mengalami krisis dan kekisruhan
politik, pada Lintang Kemukus Dini Hari menghadirkan sosok Bakar. Bakar
dimunculkan sebagai sosok yang menyeret nama desa Dukuh Paruk dalam gejolak
partai pada saat itu. Desa Dukuh Paruk dengan segala kebodohannya hanya dapat
menerima ideologi baru tanpa tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Sosok
Bakar menawan hati warga Dukuh Paruk.
Satu-satunya
jalan yang menjadi pintu masuk ke Dukuh Paruk berhias lambang partai.
Orang-orang merasa bangga karena itulah pengaturan Bakar. Di depan rumah
Kartareja juga dipasang sebuah papan. Tak ada orang Dukuh Paruk yang bisa
membaca tulisan dalam papan itu.” (Tohari, 2011:228).
Hingga
akhirnya hal yang tidak pernah terjadi di Dukuh Paruk terjadi. Pengrusakan
makam Ki Secamenggala membuat Dukuh Paruk merasa terhina sedemikian dalam.
Pengrusakan yang diketahui berasal dari caping hijau (partai seberang) membuat
Dukuh Paruk murka sehingga Bakar dengan mudah mengontrol Dukuh Paruk seisinya. Ronggeng
Dukuh Paruk dengan gencar melancarkan aksi pementasan ronggeng disertai
orasi-orasi perlawanan di berbagai daerah yang jelas-jelas hal itu melawan
peraturan pemerintah. Dukuh Paruk merupakan alat bagi Bakar untuk melawan
kekuasaan rezim orde baru saat itu. Berlatar belakang pembantaian ketujuh
Jendral TNI AD, Bakar tengah menjadi orang yang paling dicari.
Stigmatisasi
itu berjalan dengan cukup sistematis dan efisien, mengingat waktu itu PKI
benar-benar menjadi momok semenjak 1965. Seperti ludruk, reog, dan
berbagai kesenian tradisional lainnya, ronggeng sempat dilarang keberadaannya
karena diidentikkan dengan kegiatan PKI, dan unsur seksualitasnya disesuaikan
dengan wacana pemerintah. Hasilnya adalah penyusutan peran dan status
ronggeng, karena ia menjadi pekerjaan yang mengerikan dan tidak lagi
terlegitimasi.
Kekerasan
Rezim Orde Baru
Setelah
meloloskan pencitraan mengenai bagaimana Dukuh Paruk dapat tersangkut dalam
kekisruhan politik saat itu, novel trilogi terakhir, pada Jantera Bianglala
diceritakan suasana yang berbeda. Penceritaan awal berkisah mengenai bagaimana
rezim orde baru saat itu menahan antek-antek komunis. Selain penahanan,
dikisahkan pula berbagai bentuk penyiksaan yang sungguh tidak sesuai dengan
perikemanusiaan.
“Yang
tinggal dalam penjara darurat itu hampir dua ratus orang, beberapa belas di
antaranya perempuan. Karena bangunan yang tidak cukup besar maka para penghuni
harus selalu berdiri. Apalagi lantainya basah oleh cairan yang sengak tidak
kepalang. Namun ada bebeapa orang perempuan yang nekat duduk bersandar tembok
dengan cara melipat kaki sekecil-kecilnya. Tak ada cakap di antara mereka,
tidak juga saling pandang. Sebagian masih melek, sebagian lagi tertidur sambil
menyandar atau menghadap tembok.” (Tohari, 2011:247).
Penahanan
merupakan hal kecil bila dibandingkan dengan pelenyapan orang-orang yang
dianggap dalang komunisme. Diceritakan pula bahwa orang-orang yang berada dalam
daftar, akan dipanggil untuk menghadapi peluru berserjarah yang sekaligus
mengakhiri hidupnya. Hal yang paling nista terjadi pada Darsinah. Salah seorang
perempuan tahanan yang memaksa utuk ikut keluar dengan beberapa tahanan
terpilih yang akan ditembak mati, “Tetapi Darsinah itu. Dalam
ketololannya di sendiri minta digabungkan dengan tujuh orang yang akan
dihadapkan kepada peluru sejarah.” (Tohari, 2011:250).
Kekisruhan
yang tengah terjadi di Indonesia menambah daftar panjang mengenai konflik
kemanusiaan. Orang-orang komunis demi sesuatu hal dengan mudahnya menjerat dan
mengusung massa demi hak hidup orang banyak namun dengan cara yang paling
hewani. Para aparat dan orang-orang yang bekerja untuk negara juga tanpa rasa
bersalah dapat melenyapkan orang-orang komunis dengan cara yang sama.
Eksistensialisme hakikat manusia dipertanyakan ketika kemanusiaan itu telah
hilang dalam diri manusia.
Perdagangan
Perempuan Pasca Konflik Reformasi
Setelah
ditahan dua tahun lamanya, Srintil kembali ke dalam pangkuan Dukuh Paruk yang
sedang mencoba bangkit dari tragedi tahun 1965. Nyai Kartareja yang telah lama
tidak menerima pemasukan pun berusaha membujuk Srintil agar mau “bekerja” lagi.
Tidak atas nama ronggeng, namun penjajaan seksualitas yang Srintil biasa
lakukan dulu. Dengan ketidaksiapan hati dan pikiran, Srintil menampik keinginan
induk semangnya itu. Seolah tak pernah melihat badai yang menimpa Dukuh Paruk,
banyak para sodagar-sodagar kaya yang ingin merasakan jasa Srintil bahkan ingin
menikahinya.
Keteguhan
akan tidak kembali menjadi perempuan murahan pudar saat Srintil merasakan jatuh
cinta dengan seseorang yang sangat berbaik hati padanya. Adalah Bajus, seorang
lelaki yang bekerja sebagai pengukur tanah dalam rangka pembangunan daerah di
sekitar Dukuh Paruk yang jatuh hati kepada Srintil. Dengan kelengkapan
kehidupan yang diberikan secara tulus oleh Bajus, Srintil merasa berhasil
meraih dirinya kembali dari keterpurukan. Sosok Rasus yang telah lama mendiami
hati Srintil juga telah tersisihkan.
Namun
apa yang terjadi tidak sesuai harapan. Seluruh kebaikan Bajus merupakan sarana
dalam mencapai keinginannya yang terselubung. Setelah Srintil menjatuhkan
pilihan kepada Bajus, ia hendak mempersembahkan Srintil kepada atasannya agar
urusan bisnisnya berjalan lancar. Srintil yang meski menyandang status sebagai
mantan ronggeng, tidak habisnya dipermainkan oleh laki-laki. Meski Srintil
menolak, Bajus mengancam akan menjebloskan Srintil ke penjara lagi dengan mudah
karena Srintil beserta Dukuh Paruk merupakan bekas PKI.
Diterbangkan
pada langit tertinggi lalu dihempaskan ke dasar jurang. Itulah yang
tengah Srintil rasakan. Keinginan dan harapan dalam membina rumah tangga
bersama Bajus pupus karena sikap Bajus yang tak jauh berbeda dengan lelaki
hanya ingin memanfaatkan kecantikannya. Meski tidak jadi “dipakai” oleh atasan
Bajus, guncangan kejiwaan terlanjur menghempas Srintil. Hal ini terjadi setelah
ia mendengar bahwa Bajus tidak sungguh-sungguh menyukai Srintil, bahwa Bajus
hanya memperalat Srintil agar ia mau dipakai oleh atasannya.
Kehidupan
yang dialami Srintil sebagai ronggeng telah membawanya ke dalam permasalah
hidup yang tiada habisnya. Ketenangan dan kesenangan hidup yang didambakannya
tidak berlaku dalam hidup Srintil. Menjadi penari yang menjajakan hasrat
seksual, pupusnya kisah cinta yang selalu ia dambakan, menjadi tahanan politik
sekian lama, dan harapan palsu yang diberikan oleh seseorang yang hampir
menjadi suaminya, membuat Srintil menjadi sosok yang terguncang secara batin
dan mental. Kisah ini berakhir dengan keadaan Srintil yang mengalami pemasungan
di salah satu ruang di rumah Srintil. Srintil merupakan seseorang yang mengidap
gangguan kejiwaan dengan penanganan ala penduduk desa tanpa didasari ilmu
pendidikan.
“Srintil
yang demikian kusut dengan celana kolor sampai ke lutut serta kaus oblong yang
robek-robek. Srintil yang duduk di atas sesuatu, mungkin kotorannya sendiri.
Srintil yang hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan
pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri
bekas mahkota Dukuh Paruk itu.” (Tohari, 2011:395).
Bagi saya, Ronggeng Dukuh Paruk adalah magnum opus Ahmad Tohari selain Kubah. Karyanya ini telah diadaptasi menjadi film layar lebar Sang Penari pada 2011 yang mendapat sambutan baik. Ahmad Tohari, seperti karya-karyanya lain, berhasil memberikan gambaran sempurna kehidupan kaum jelata pedesaan di tengah hiruk pikuk pergulatan dunia di luar.
Comments
Post a Comment