Detail Buku
Judul: AIB DAN MARTABAT
Judul: AIB DAN MARTABAT
Judul asli: Genanse og verdighet
Penulis: Dag Solstad
Penulis: Dag Solstad
Penerjemah: Irwan Syahrir
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: 138 hlm
Cetakan: I, April 2016
Harga: Rp 45.000,-
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: 138 hlm
Cetakan: I, April 2016
Harga: Rp 45.000,-
“Jika kau membongkar
kebohongan hidup dari orang kebanyakan, maka kau telah merampas juga
kebahagiaanya.”(Henrik Ibsen)
Sebagian orang meyakini bahwa
hidup dimulai ketika manusia berumur 40 tahun, seiring dengan itu dan masa-masa
setelahnya, manusia kebanyakan akan mengalami krisis paruh baya atau bahasa
populernya mid-life crisis. Secara teori psikologi, sebenarnya yang
terjadi bukanlah sekonyong-konyong seperti itu, namun rentang periode umur setelahnya
adalah masa dimana manusia mengalami transisi menuju kemapanan. Pada masa itu
manusia mencoba merefleksikan kehidupan yang telah dijalaninya dan
mempertanyakan kembali eksistensi dan pencapaiannya. Pikiran manusia tergiring
pada pertanyaan-pertanyaan absurd dan melihat kembali paradigma kebahagiaan. Elliot
Jaques, seorang psikoanalis Kanada, memaparkan bahwa midlife crisis ditandai
dengan keinginan untuk membuat perubahan yang signifikan terhadap satu ,
beberapa, atau seluruh aspek kehidupana misalnya karir, kondisi dan
hubungan dalam keluarga, hubungan dengan pasangan, pengalaman hidup dan peran
sosial.
Hal itulah yang dialami oleh
Elias Rukla, tokoh sentral dalam novel Aib dan Martabat karya Dag Solstad. Ia
merupakan seorang guru sastra pada sekolah menengah di Oslo yang memasuki usia
50-an tahun dan krisis paruh baya mulai menghampiri dan menghantui pikirannya.
Elias Rukla yang telah mengabdikan diri
lebih 25 tahun mengajarkan sastra kepada para siswa tingkat akhir Sekolah Menengah
Fagerborg. Ribuan kali sudah ia menguraikan drama Itik Liar karya
sastrawan besar Norwegia, Henrik Ibsen, pada para remaja muridnya yang tidak
menunjukkan ketertarikan sama sekali, memikirkan persiapan untuk ujian masuk
perguruan tinggi adalah hal paling logis menurut mereka ketimbang bergulat
dengan khazanah kesustraan. Sikap antipati dan permusuhan terpancar jelas dari
segenap murid-muridnya itu secara kolektif. Membuat Elias Rukla kembali mempertanyakan
pentingnya mengajarkan sastra kepada para remaja itu, secara spesifik ia memikirkan
lagi eksistensinya di sekolah itu sebagai pengajar dan pada kehidupan
masyarakat secara luas. Pemikirannya itu menerus pada perihal lain dalam
hidupnya yang sudah ia jalani, diantaranya ihwal hubungannya dengan istrinya
yang telah menggendut dan selalu berwajah cemberut, dulunya adalah wanita
cantik menawan tak terkira yang diam-diam ia puja, dan merupakan istri sahabat
karibnya, Johan Corneliussen, yang tiba-tiba memutuskan untuk hijrah ke Amerika
dan ‘menitipkan’ keluarganya kepada Elias Rukla.
Dag Solstad menggambarkan jalan
pemikiran Elias Rukla yang penuh dengan hal-hal absurd, seperti saat Elias
Rukla berjuang untuk membuka payung di halaman sekolah tempat ia mengajar, ia
mendapati payungnya susah dibuka di tengah hujan yang sudah mengguyur dan
ratusan pasang mata para murid dan guru koleganya menatap dengan seksama cuma
guna ingin mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Elias mengakhiri momen
dramatis itu dengan menghempaskan payungnya ke tanah dan memarahi seorang siswa
di dekatnya dan menyemburnya dengan kata-kata kasar. Adegan payung tidak bisa
dibuka itu benar-benar adegan yang konyol dan unik. Lantas menggelindinglah
semua kritik akan kondisi manusia modern sekarang. Sejak momen itu Elias Rukla mulai
menyadari untuk mengakhiri karir mengajarnya dan merasakan ketidakesensialan
dirinya dalam kehidupan secara luas, termasuk keberadaanya dalam keluarga
kecilnya.
Selain itu, ia juga hidup dalam
sisi paradoksnya sendiri, di satu sisi, sebagai guru sastra, ia mulai berpikir
bahwa mengajarkan sastra kepada para remaja tingkat akhir sekolah menengah
adalah suatu kesia-siaan, namun disisi lain ia memuja intelektualitasnya. Ia
melihat kesusastraan sebagai salah satu bentuk pencapaian peradaban manusia,
dan ia kembali teringat bagaimana salah seorang guru matematika koleganya
mengetahui Hans Castorp, tokoh fiksi pada novel Jerman karya Thomas Mann, The
Magic Mountain, membuatnya berpikir bahwa dunia sastra digemari secara luas
bahkan oleh orang-orang ‘non-sastra’.
Begitu juga dengan kehidupan
keluarganya yang terjebak dalam kasih sayang yang hanya bersifat rutinitas.
Bagaimana ia mendapati hubungan dengan istrinya yang sudah lama ia kenal jauh
sebelum akhirnya mereka hidup bersama, tersisa sebagai hubungan yang dipenuhi
basa-basi demi kesantunan dan ucapan “selamat pagi” atau “sampai jumpa” yang
setiap hari mereka ucapkan. Kehidupan
sosial yang juga mengusiknya adalah perbedaan kentara jika orang-orang berilmu dan
tokoh intelektual wafat, ia melihat tak ada kesedihan masal atasnya.
Sebaliknya, bila seorang pembaca acara televisi wafat seolah dunia runtuh
seketika. Begitu juga soal guru, banyak guru-guru muda hanya menjadi buruh
utang. Kritik-kritik kehidupan sosial mengalir dengan deras dalam pikiran Elias
Rukla.
Pergulatan pemikiran yang dialami
Elias Rukla hampir serupa dengan Antoine Roquentin, tokoh fiksi pada Nauseanya
Jean Paul Sartre, yang merupakan seorang penulis yang cemas dan takut dengan
eksistensi dirinya yang menggiringnya pada rasa muak terhadap kehidupan
disekitarnya. Aroma eksistensialisme yang diperkenalkan Sartre memang dapat
kita endus dengan kentara pada kisah Elias Rukla ini, subtil namun kuat. Namun
Dag Solstad menyuguhkan pikiran-pikiran Elias Rukla dengan gayanya sendiri yang
nyaris seluruhnya berupa narasi, tanpa dialog. Dan dengan paragraf yang sangat
panjang hingga beberapa halaman dan tanpa pembagian bab, membuat kita masuk
jauh ke dalam ceruk palung dalam pikiran Elias Rukla. Harumi Murakami yang
menerjemahkan novel ini ke bahasa Jepang, memberikan kritik positif dengan menyebutnya sebagai sastra yang serius.
[.]
Dimuat pertama kali di: Buruan.co
Good review
ReplyDelete