sumber gambar: gramedia.com
“Kenapa kalian orang kulit putih membuat
begitu banyak barang berharga dan membawanya ke Papua, tapi kami orang kulit
hitam memiliki begitu sedikit barang berharga milik sendiri?”
“Mengapa peradaban dunia didominasi oleh
orang-orangkulit putih Eropa, bukan oleh
orang-orang suku Aborigin Australia atau orang kulit hitam Afrika? Mengapa
Inggris, Jerman dan negara Eropa lainnya lebih maju daripada Kenya atau Papua
New Guinea?”
Itu adalah beberapa
pertanyaan yang menjadi alasan utama kenapa buku ini, Bedil, Kuman & Baja
(BKB), ditulis oleh Jared Diamond, seorang polymath
dan professor Geografi di UCLA. Pertanyaan pertama diajukan oleh Yali, seorang
Papua yang ia kenal sewaktu melakukan penelitian evolusi burung di pedalaman
Papua. Sehingga bab pertama buku ini diberi judul Pertanyaan Yali, dan dari
pertanyaan inilah semua bermula. Jared Diamond, dengan latar belakang keilmuan
yang begitu luas, mulai dari geografi, evolusi biologi, antropologi hingga linguistik,
sangat mumpuni untuk menguraikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam
itu.
Sudah banyak
orang-rang yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut dan mayoritas jawaban
yang diberikan berlandaskan pada dalil-dalil seputar rasial yang tidak memiliki
bukti dan fakta pendukung yang ilmiah. Sudah sering kita mendengar bahwa
orang-orang kulit putih eropa menguasai dunia karena lebih cerdas dan superior secara
intelektual, dibanding orang-orang kulit berwarna yang terbelakang. Itulah
premis yang menjadi landasan berpikir Hitler yang mencetuskan ideologi Nazi di
Jerman. Sayangnya, sangat sedikit, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali,
bukti-bukti ilmiah yang mendukung proposisi tersebut.
Guna menjawab
pertanyaan tersebut dengan jawaban yang valid dan masuk akal, Jared Diamond
memulainya dengan uraian sejarah sejak 13.000 tahun silam dari mana segalanya
berawal. Pada saat itu, ketika Zaman Es terakhir berakhir, terjadi perubahan
signifikan dalam kehidupan manusia modern, atau yang kita kenal Homo Sapiens. Itulah kala manusia mulai
beralih dari kehidupan pemburu-pengumpul (hunter-gatherer)
menuju masyarakat agraris akibat revolusi pertanian. Domestikasi tanaman pangan
menjadi awal dari munculnnya masyarakat manusia yang lebih kompleks; memiliki
strata sosial, munculnya tulisan, lahirnya berbagai profesi keahlian dan
munculnya berbagai kreativitas baru.
Dalam Sapiens, Yuval Noah Harari menyebut
Revolusi Pertanian sebagai 3 tahap revolusi paling penting dalam sejarah umat
manusia setelah Revolusi Kognitif, + 70.000 tahun silam, dan Revolusi
Sains, + 500 tahun yang lalu.
Dampak dari
beralihnya cara hidup manusia dari pemburu-pengumpul menjadi koloni yang
menetap di sekitar tanaman domestikasinya adalah bertumbuhnya populasi manusia
secara pesat. Hal ini disebabkan masyarakat pertanian tidak perlu lagi menahan
laju kelahiran sebagaimana yang mereka lakukan saat masih jadi
pemburu-pengumpul. Kelompok pemburu-pengumpul sangat ketat dalam mengatur angka
kelahiran dengan pertimbangan bahwa balita dan anak-anak yang masih dalam
periode pengasuhan dapat memperlambat kecepatan mereka berpindah demi mencari
makan dari satu daerah ke daerah lain. Sehingga dalam masyarakat
pemburu-pengumpul memberi jeda empat hingga lima tahun antar kelahiran dari
satu ibu adalah hal yang perlu dilakukan. Keberlimpahan makanan juga menjadi
penyebab pesatnya laju peryumbuhan penduduk pada masyarak pertanian. Dari
populasi yang padat inilah terlahir peradaban kota, karena mengatur kehidupan
ribuan -bukan lagi ratusan- orang yang hidup menetap diperlukan birokrasi yang
lebih rumit. Dan dari populasi yang lebih padat tersebut berbagai penemuan yang
mempermudah kehidupan manusia dapat terlahir karena kreativitas yang semakin
beragam. Angka probabilitas lahirnya seorang genius seperti Einstein jauh lebih
tinggi pada masyarakat berpenduduk 500 ribu atau 1 juta orang daripada kumpulan
pemburu pengumpul yang hanya berjumlah 100-300 manusia. 10.000 tahun silam, di
awal revolusi pertanian, diperkirakan terdapat 3 sampai 5 juta manusia di
seluruh dunia. 3.000 tahun kemudian berlipat jadi 15-20 juta manusia. Dan angka
tersebut terus bertumbuh secara eksplonensial dengan menjamurnya pusat-pusat
peradaban, hingga populasi manusia menyentuh 170 juta pada awal-awal Kekaisaran
Romawi 5 ribu tahun setelahnya dan menyentuh 1 milyar memasuki abad
kesembilanbelas.
Yang menarik
dari lahirnya struktur masyarakat kompleks adalah mulai munculnya institusi agama
yang lebih terstruktur dan bersistem. Meskipun kepercayaan kepada objek-objek
mistik telah ada ribuan tahun sebelumnya saat manusia masih hidup nomaden,
namun terbatas hanya pada pemujaan arwah leluhur atau makhluk mitologi yang
diyakini menguasai suatu daerah atau benda. Sejak masyakat tersusun secara
kasta-kasta, agama dibutuhkan untuk mengubah tatanan masyarakat egaliter menuju
kleptorasi. Puncak pimpinan masyarakat membutuhkan mitos-mitos bahwa mereka
adalah titisan para dewa demi mendapatkan mandat dari rakyat.
Kemudian Jared
menguraikan bagaimana kemunculan pusat-pusat menyarakat pertanian tersebut
menyebar dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis dan lingkungan. Bulan Sabit
Subur (Fertile Crescent), wilayah timur tengah yang sekarang kita kenal sebagai
iraq, Israel, Palestina, Suriah dan sekitarnya, adalah titik awal munculnya
masyarakat pertanian. Beberapa pangan dan hewan pertamakali didomestikasi di
sana seperti gandum, zaitun, domba dan kambing. Kemudian, secara mandiri,
muncul juga pusat-pusat pertanian di tempat berbeda seperti kawasan Sahel di
Afrika, Cina, dan secara lebih terbatas di Papua dan Mesoamerika. Tebu dan
pisang adalah tanaman yang pertama kali dibudidayakan di Papua sedangkan padi
dan babi pertama kali didomestikasi di Cina.
Gambar 1. Pusat-pusat muasal produksi makanan.
Selanjutnya
peradaban berjalan semakin cepat dengan reka cipta alat-alat baru penunjang
peradaban modern, seperti roda, bedil, kapal layar, dsb. Pusat-pusat peradaban pun
bergeser dari kawasan pusat makanan ke wilayah-wilayah lain. Bahkan sejak 500
tahun silam, Eropa barat menjadi pusat segala inovasi yang menghasilkan banyak
barang-barang yang kelak dipertanyakan Yali. Mengapa hal demikian dapat
terjadi? Mengapa pusat peradaban berpindah dari wilayah pertanian awal?
Jared
menjelaskan bahwa tiga faktor lain yang menjadi penentu bagi kecepatan kemajuan
peradaban adalah kecepatan difusi dan migrasi suatu teknologi, difusi antar
benua dan terakhir oleh luas wilayah dan populasi. Kecepatan difusi dan migrasi
sangat ditentukan oleh panjang garis lintang dan garis bujur suatu benua. Dan
Eurasia adalah benua paling memenuhi semua faktor tersebut. Garis bujurnya yang
relatif panjang dan dalam zona iklim relatif sama membuat kecepatan penyebaran
teknologi jauh lebih mudah dibanding benua Amerika yang memilii perbedaan zona
iklim lebih rapat. Pun demikian dengan Papua, dan Australia. Temuan-temuan
terbaru sperti domestikasi pangan sangat lambat penyebarannya dan bersifat
lokal karena faktor geografis seperti pegunungan atau gurun yang mustahil
dilalui pada masa itu.
Sehingga,
ketika bangsa kulit putih mulai melakukan ekspansi sejak pelayaran Colombus
menemukan Dunia Baru pada 1497, mereka mendapati masyarakat yang ribuan tahun ‘tertinggal’
secara peradaban daripada masyarakat Eurasia. Demikianlah Jared menguraikan
masyarakat berkembang secara berbeda di benua yang berbeda-beda karena
perbedaan lingkungan benua, bukan karena biologi manusiannya. [.]
Gambar 2. Penyebaran manusia ke seluruh dunia.
Tahun Pertama Terbit : 1997
Penerjemah :Hendarto Setiadi & Damaring Tyas Wulandari Palar
Cetakan I Edisi Indonesia : 2013
Cetakan VI Edisi Indonesia : 2019
Penebit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
ISBN : 978-602-424-138-4
Rekomendasi bacaan selanjutnya
tentang sejarah manusia:
- Sapiens
oleh Yuval Noah Harari.
- Homo
Deus oleh Yuval Noah Harari.
- Asal-usul
Manusia oleh Richard Leakey.
Comments
Post a Comment