Meski demikian, dari 30-an buku
yang saya baca, baik fiksi maupun non-fiksi, saya mendapatkan pengalaman
membaca yang tidak kalah menarik dan berharga dibanding tahun-tahun lampau.
Berikut adalah buku-buku terbaik yang saya baca sepanjang 2018. Diurutkan secara acak, fiksi dan non-fiksi.
Homo Deus oleh Yuval Noah Harari
Setelah mencuri perhatian dunia
dan diendorse oleh banyak pesohor macam Bill Gates dan Obama melalui karya
perdananya, Sapiens, sejarawan Israel ini kembali menjadi perbincangan para
cendekiawan dan pemimpin dunia dengan sekuel buku pertamanya itu, Homo Deus.
Manusia Tuhan, begitu tajuk buku ini tahun lalu diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia oleh Gramedia. Sebagaimana
Bersama Sapiens, tanpa keraguan,
buku ini saya sebut sebagai salah satu buku terbaik yang harus dibaca
bersanding dengan buku-buku karya Albert Camus, Jared Diamond, Dawkins, Hawking
dll.
Saya senang sekali ketika
menemukan terjemahan buku ini terpajang di Gramedia. Ini merupakan salah satu
karya lama Murakami yang ‘terlambat’ dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia
dibanding karya dia yang lain. Baru di awal tahun 2018 Gramedia menerbitkan
edisi Indonesianya. Bila harus dikelompokkan, maka novel ini termasuk ke dalam
karya Murakami yang realitis, bersanding dengan Norwegian Wood, Hear The Wind
Sing, dll.
Novel ini bercerita tentang
seorang pemuda 30-an, Tsukuru Tazaki, yang ditinggal teman-teman dekatnya
karena ia tak punya ‘warna’. Terkesan dingin, gelap dan depresi. Open ending.
Premis cerita yang sangat sederhana; tapi ditangan Murakami, premis cerita
sesederhana apa pun akan jadi rumit dan berliku. Saya membaca 30an halaman
terakhir dengan terburu-buru buat tahu
akhir kisah antara si Tazaki dan non Sara, eh malah diselesaikan dengan dingin
semalam sebelum Tazaki mau ketemu Sara di hari Rabu.
Setelah menamatkan ini, saya
menetapkan The Wind Up Bird Chronicle sebagai karya terbaik Haruki Murakami,
menggeser posisi Kafka On The Shore yang lebih awal saya. Saya termasuk
terlambat sekali membaca novel yang terbitan edisi Inggris pertamanya pada
1995. Saya mendapatkan edisi vintage buku ini dari seorang teman yang sedang
melego koleksi bacaannya dan dengan senang hati saya mengadopsi buku yang sudah
lama menghuni daftar Must Read As Soon As
Possible but Still don’t have Time to read It. Buku ini satu barisan dengan
Kafka On The Shore, dengan keabsurdan
cerita khas Murakami.
Rainbirds oleh Clarissa Goenawan
Clarissa Goenawan, melalui Rainbirds,
adalah Murakami dalam bentuk yang lebih sederhana, jika saya boleh menyebutnya
demikian. Karya pemenanng Bath Award ini ditulis dengan latar belakang sebuah kota
imajiner di Jepang, Akakawa. Pembaca awam tidak akan menyangka bahwa novel ini
ditulis oleh seorang penulis perempuan Singapura kelahiran Indonesia.
Penggambaran latar yang sangat rinci dan spesifik membuat pembaca dan latar
cerita tidak berjarak. Rainbirds bercerita tentang sebuah tragedi kematian yang
membuka banyak rahasia masa lalu kehidupan seseroang. Tokoh favorit saya adalah
Seven Star alias Rio Nakajima dengan adegan favorit Ketika Seven Star datang ke
apartemen Ren Ishida tengah malam dengan membawa kue ulang tahunnya. Saya suka
dengan open endingnya. Tipikal Murakami.
"Memang biasanya kita baru sadar apa yang penting setelah hal itu
hilang."(Clarissa Goenawan - Rainbirds, hal 308)
Manifesto Flora oleh Chynta Hariadi
Kumpulan cerpen ini terbit pada
tahun sebelumnya, 2017. Dan pada 2018 masuk ke dalam daftar panjang (long list)
Kusala Sastra Katulistiwa. Cerita dalam kumcer ini terkesan dingin, dan dalam
berbagai bentuk terasa mencekam dengan gayanya sendiri. Gaya narasi dan lanskap
plot bikinan Cyntha Hariadi patut diapresiasi. Ia keluar dari kebiasaan cara
penceritaan cerpen koran. Ia punya cara bernarasi yang unik. Beberapa cerita
minim dialog. Salah satu cerita yang paling berkesan; Tuan dan Nyonya di Jalan
Abadi.
Innocent Erendira oleh Gabriel Garcia Marquez
"Bagaimanapun juga, cinta
sama pentingnya dengan makan." (Sang Nenek dalam Innocent Erendira,
Gabriel Garcia Marquez)
Rumit, realisme magis abis khas
Gabo. Beberapa cerita mesti dibaca dua kali agar paham alur dan plotnya.
Beberapa cerita sunggu saya ga paham sama sekali tapi terus aja dibaca karena
enak. Cerita pembuka, Drama Erendira, sungguh cerita yang sangat tragis.
Kualitas terjemahannya termasuk tidak baik. Menambah-nambah pusing saya sebagai
pembaca.
The Red-haired Woman oleh Orhan Pamuk
Orhan Pamuk meracik ulang cerita
klasik Oedipus dan mengawinkannya dengan cerita klasik dari Timur, Sohrab dan
Rostam. Sepertiga pertengahan terkesan lambat dan membosankan karena terlalu
banyak penjelasan mengenai sejarah sastra Barat dan Timur. Baru kemudian di
bagian sepertiga terakhir daya tarik novel ini kembali mengikat pembaca dengan
diungkapnya beberapa fakta yang tak terduga sebelumnya. Endingnya luar biasa
brilian.
Spesial Recognition:
Sirkus adalah kumpulan cerita
mengenai hal-hal liyan yang jarang diangkat dalam karya sastra kita seperti
isu-isu transgender, kekerasan terhadap perempuan, arsenophobic dll. Saya
mengenal Abi, penulis kumcer ini, di komunitas menulis CSWC Bandung. Saya
selalu suka mendengar cerita-cerita Abi yang selalu hadir dengan premis-premis
cerita tak biasa dan selalu memberikan kejutan-kejutan yang tak terduga di
akhir cerita. Dalam kumcer ini, terdapat 24 cerita. Sebelumnya Sirkus pernah
terbit secara digital oleh bookslife memuat 13 cerita. Beberapa cerita yang
paling saya suka adalah seperti Siaran Televisi Dini Hari, Kencan Sally atau
Bubur Ayam Bik Liong.
Comments
Post a Comment