Skip to main content

7+1 buku terbaik 2018



 Ada banyak peristiwa penting dalam dunia literasi yang terjadi di sepanjang tahun 2018. Buku-buku baru yang menarik dan mencuri perhatian terlahir dari rahim para penulis, fiksi maupun non-fiksi, menambah-nambah tumpukan To Read di rak buku pembaca. Namun, tahun 2018 adalah tahun paling tidak produktif bagi saya, dalam hal baca dan menulis. Sepanjang tahun Anjing Tanah itu saya hanya mampu menyelesaikan sekitar 30-an buku, baik cetak dan elektronik. Tulisan pun demikian. Tidak banyak tulisan-tulisan baru yang saya terbitkan di blog ini, maupun target menulis yang lain. Mungkin terlalu banyak waktu saya habiskan buat scroll timeline sosmed ataustalkingsosmedmantan. Begitulah.

Meski demikian, dari 30-an buku yang saya baca, baik fiksi maupun non-fiksi, saya mendapatkan pengalaman membaca yang tidak kalah menarik dan berharga dibanding tahun-tahun lampau.
Berikut adalah buku-buku terbaik yang saya baca sepanjang 2018. Diurutkan secara acak, fiksi dan non-fiksi.



Homo Deus oleh Yuval Noah Harari


Setelah mencuri perhatian dunia dan diendorse oleh banyak pesohor macam Bill Gates dan Obama melalui karya perdananya, Sapiens, sejarawan Israel ini kembali menjadi perbincangan para cendekiawan dan pemimpin dunia dengan sekuel buku pertamanya itu, Homo Deus. Manusia Tuhan, begitu tajuk buku ini tahun lalu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Gramedia. Sebagaimana
Bersama Sapiens, tanpa keraguan, buku ini saya sebut sebagai salah satu buku terbaik yang harus dibaca bersanding dengan buku-buku karya Albert Camus, Jared Diamond, Dawkins, Hawking dll.

Colorless Tsukuru Tazaki oleh Haruki Murakami


Saya senang sekali ketika menemukan terjemahan buku ini terpajang di Gramedia. Ini merupakan salah satu karya lama Murakami yang ‘terlambat’ dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia dibanding karya dia yang lain. Baru di awal tahun 2018 Gramedia menerbitkan edisi Indonesianya. Bila harus dikelompokkan, maka novel ini termasuk ke dalam karya Murakami yang realitis, bersanding dengan Norwegian Wood, Hear The Wind Sing, dll.
Novel ini bercerita tentang seorang pemuda 30-an, Tsukuru Tazaki, yang ditinggal teman-teman dekatnya karena ia tak punya ‘warna’. Terkesan dingin, gelap dan depresi. Open ending. Premis cerita yang sangat sederhana; tapi ditangan Murakami, premis cerita sesederhana apa pun akan jadi rumit dan berliku. Saya membaca 30an halaman terakhir dengan terburu-buru  buat tahu akhir kisah antara si Tazaki dan non Sara, eh malah diselesaikan dengan dingin semalam sebelum Tazaki mau ketemu Sara di hari Rabu.


The Wind Up Bird Chronicle



Setelah menamatkan ini, saya menetapkan The Wind Up Bird Chronicle sebagai karya terbaik Haruki Murakami, menggeser posisi Kafka On The Shore yang lebih awal saya. Saya termasuk terlambat sekali membaca novel yang terbitan edisi Inggris pertamanya pada 1995. Saya mendapatkan edisi vintage buku ini dari seorang teman yang sedang melego koleksi bacaannya dan dengan senang hati saya mengadopsi buku yang sudah lama menghuni daftar Must Read As Soon As Possible but Still don’t have Time to read It. Buku ini satu barisan dengan Kafka On The Shore, dengan keabsurdan cerita khas Murakami.

Rainbirds oleh Clarissa Goenawan


Clarissa Goenawan, melalui Rainbirds, adalah Murakami dalam bentuk yang lebih sederhana, jika saya boleh menyebutnya demikian. Karya pemenanng Bath Award ini ditulis dengan latar belakang sebuah kota imajiner di Jepang, Akakawa. Pembaca awam tidak akan menyangka bahwa novel ini ditulis oleh seorang penulis perempuan Singapura kelahiran Indonesia. Penggambaran latar yang sangat rinci dan spesifik membuat pembaca dan latar cerita tidak berjarak. Rainbirds bercerita tentang sebuah tragedi kematian yang membuka banyak rahasia masa lalu kehidupan seseroang. Tokoh favorit saya adalah Seven Star alias Rio Nakajima dengan adegan favorit Ketika Seven Star datang ke apartemen Ren Ishida tengah malam dengan membawa kue ulang tahunnya. Saya suka dengan open endingnya. Tipikal Murakami.
"Memang biasanya kita baru sadar apa yang penting setelah hal itu hilang."(Clarissa Goenawan - Rainbirds, hal 308)

Manifesto Flora oleh Chynta Hariadi
Kumpulan cerpen ini terbit pada tahun sebelumnya, 2017. Dan pada 2018 masuk ke dalam daftar panjang (long list) Kusala Sastra Katulistiwa. Cerita dalam kumcer ini terkesan dingin, dan dalam berbagai bentuk terasa mencekam dengan gayanya sendiri. Gaya narasi dan lanskap plot bikinan Cyntha Hariadi patut diapresiasi. Ia keluar dari kebiasaan cara penceritaan cerpen koran. Ia punya cara bernarasi yang unik. Beberapa cerita minim dialog. Salah satu cerita yang paling berkesan; Tuan dan Nyonya di Jalan Abadi.






Innocent Erendira oleh Gabriel Garcia Marquez
"Bagaimanapun juga, cinta sama pentingnya dengan makan." (Sang Nenek dalam Innocent Erendira, Gabriel Garcia Marquez)
Rumit, realisme magis abis khas Gabo. Beberapa cerita mesti dibaca dua kali agar paham alur dan plotnya. Beberapa cerita sunggu saya ga paham sama sekali tapi terus aja dibaca karena enak. Cerita pembuka, Drama Erendira, sungguh cerita yang sangat tragis. Kualitas terjemahannya termasuk tidak baik. Menambah-nambah pusing saya sebagai pembaca.


The Red-haired Woman oleh Orhan Pamuk
Orhan Pamuk meracik ulang cerita klasik Oedipus dan mengawinkannya dengan cerita klasik dari Timur, Sohrab dan Rostam. Sepertiga pertengahan terkesan lambat dan membosankan karena terlalu banyak penjelasan mengenai sejarah sastra Barat dan Timur. Baru kemudian di bagian sepertiga terakhir daya tarik novel ini kembali mengikat pembaca dengan diungkapnya beberapa fakta yang tak terduga sebelumnya. Endingnya luar biasa brilian.

Spesial Recognition:
Sirkus

Sirkus adalah kumpulan cerita mengenai hal-hal liyan yang jarang diangkat dalam karya sastra kita seperti isu-isu transgender, kekerasan terhadap perempuan, arsenophobic dll. Saya mengenal Abi, penulis kumcer ini, di komunitas menulis CSWC Bandung. Saya selalu suka mendengar cerita-cerita Abi yang selalu hadir dengan premis-premis cerita tak biasa dan selalu memberikan kejutan-kejutan yang tak terduga di akhir cerita. Dalam kumcer ini, terdapat 24 cerita. Sebelumnya Sirkus pernah terbit secara digital oleh bookslife memuat 13 cerita. Beberapa cerita yang paling saya suka adalah seperti Siaran Televisi Dini Hari, Kencan Sally atau Bubur Ayam Bik Liong.



Comments

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin buku

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam

Makna Asketisme di Balik Narasi Fantasi Semua Ikan di Langit

sumber gambar: goodreads.com “ Pada suatu hari, seekor ikan julung-julung membawa saya terbang. ”(hal 2) Cerita fantasi terkadang tidak hanya berpijak di atas landasan khayalan dan imajinasi liar penulis belaka. Adakalanya, sebagaimana didedahkan John Clute and John Grant dalam The Encyclopedia of Fantasy, kisah mitologi dan simbol-simbol religiositas dapat pula jadi bantalan ketika cerita dilentingkan. Sehingga, merujuk mereka, dibalik teks-teks fantasi, akan selalu didapati makna-makna partikular yang bersembunyi dibalik simbol-simbol yang digunakan pengarang. Mungkin pada mulanya adalah George MacDonald yang pertama kali meneroka lanskap fantasi bagi ranah kesusastraan di pertengahan abad ke-19. Ia, melalui The Princess and The Goblin, memukau pembaca sastra Inggris dengan menghadirkan suatu gaya bertutur dan isi cerita yang baru. Sesuatu yang lain. Melalui cerita tentang cerita seorang putri raja yang hidup kesepian di istana di puncak gunung, MacDonald membuat wilay