Skip to main content

Cinta Sepuh yang Telat Berlabuh




“Usia bukan masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu.” (Gabriel Garcia Marquez, “Para Pelacurku yang Sendu”, hal. 62)

PARA PEMBACA SASTRA di tanah air seharusnya bergembira dengan kondisi saat ini ketika karya-karya kanon sastra dunia semakin ramai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir, karya-karya penulis Amerika Latin yang dikenal dengan suguhan realisme magis semakin banyak dialihbahasakan seiring semakin banyak pula peminatnya.
Gabriel Garcia Marquez adalah salah satunya. Gabo, sebagaimana ia biasa dipanggil, adalah salah satu peletak tonggak penting dalam khasanah kesusastraan Amerika Latin. Ia melanjutkan fenomena Latin American Boom periode 1940-1960an dengan salah satu adikaryanya Cien años de soledad (One Hundred Years of Solitude/Seratus Tahun Kesunyian).

Gayung bersambut, penerbit dalam negeri pun berlomba-lomba merilis terjemahan karya-karyanya. Tiap penerbit bisa memiliki alasan yang berbeda untuk melakukan hal itu. Yang jelas, kita kemudian bisa memperoleh terjemahan buku yang sama dari dua (atau beberapa, seperti dalam kasus Seratus Tahun Kesunyian) penerbit berbeda.


Di satu sisi, hal ini juga menunjukkan adanya kompetisi antar penerbit dalam negeri untuk menghadirkan terjemahan karya-karya penulis Amerika Latin. Dalam ihwal Gabriel Garcia Marquez, hampir seluruh karyanya, fiksi dan non-fiksi, telah dapat kita nikmati dalam bahasa Indonesia.
Salah satu novel yang ditulis Gabo di penghujung karir kepenulisannya adalah Memoria de mis putas tristes (Memory of My Melancholy Whores). Novel ini diterjemahkan menjadi Para Pelacurku yang Sendu dan diterbitkan oleh Penerbit Circa pada bulan September 2016. Novel ini sudah pernah diterjemahkan dan diterbitkan pula oleh Penerbit Selasar Surabaya Publishing pada tahun 2009 dengan judul Kenangan Perempuan Penghibur yang Melankolis.

Meski kita tak dapat menghidu dengan kuat aroma realisme magis pada novel setebal 133 halaman ini, seperti yang kita temui pada karya-karya Gabo sebelumnya, namun kita masih bisa merasakan irama dan nada suara Gabriel Garcia Marquez dalam narasinya. Kalimat-kalimatnya yang deskriptif nan panjang tapi tidak mubazir dapat kita lihat dengan jelas sejak paragraf pembuka.
Begitu juga dalam novel ini  komedi satir yang biasa Gabo suguhkan, masih bisa kita nikmati barang sedikit, tapi cukup untuk membasuh kerinduan akan karya-karyanya. Si bujangan sepuh dalam novel ini menderita kesendirian dalam lanskap kesunyian yang akut, mirip dengan kesunyian Jose Arcadio Buendia di Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian. .

Gabo membuka cerita roman ini dengan tokoh ‘Aku’ yang tak bernama sedang memikirkan hadiah ulang tahun yang kesembilan puluh tahun untuk dirinya sendiri. Ia teringat akan teman lamanya, Rosa Cabarcas, pemilik rumah terlarang tempat orang-orang merayakan malam berluapan cinta liar dengan gadis dewasa yang dimilikinya.

Cerita sang bujangan sepuh bergulir lancar dalam narasi Gabo yang sangat fasih. Dia menggambarkan sosok itu dengan indah sekaligus penuh ambivalensi  antara idealisme moralitas dan nafsu yang menggebu. Rosa Cabarcas mengenalkan temannya itu dengan gadis muda terbaik pilihannya yang kelak ia panggil dengan nama Delgadina, meski ia tak mengenalkan dirinya demikian.

Delgadina sendiri adalah seorang gadis yang baru berusia 15 tahun dan bekerja di pabrik penjahitan pakaian. Ia memasang kancing baju sepanjang siang dan menemani sang sepuh di rumah terlarang sepanjang malam. Sang sepuh merasakan sentimen yang tak terdefinisikan akan cinta dan kesendirian.

Hal-hal muskil nan absurd khas Gabo mulai terasa setelah itu. Lihat bagaimana ia menggambarkan pergolakan batin sang sepuh:
"Aku merasa seakan-akan kau memintaku untuk meminangnya. Dan bicara soal itu, katanya dengan nada biasa, kenapa kau tidak menikahinya? Aku tercengang. Aku serius, ia menekankan, akan lebih murah. Lagi pula, pada usiamu ini, masalahnya bukan kaumampu atau tidak mampu, tapi kaubilang padaku bahwa masalah itu sudah terpecahkan. Aku memotong: Seks adalah pelipur lara yang kaumiliki ketika kau tidak punya cinta.” (hal. 72).
Dari petikan itu nampak adanya tarik-ulur antara yang diinginkan sang sepuh secara sadar, seks, dengan yang diinginkannya tanpa disadari, dan diusulkan oleh Rosa: pernikahan. Atau dengan kata lain, tarik-ulur antara kesenangan sesaat dengan kesenangan yang tetap, suatu “hiburan” konstan pada masa tua.  

Contoh lainnya, bagaimana sang sepuh menemukan tulisan di cermin tentang harimau yang akan datang mendatanginya saat dia tidur, tanpa alasan yang dapat ia pahami, sebab si gadis Delgadina tak bisa membaca dan menulis. Hal-hal semacam itu terjadi dalam novel Gabo dengan natural, salah satu daya pikat yang tak bisa diabaikan, dan menciptakan candu.   

Meski cerita bergerak tak jauh dari gejolak nurani sang bujangan sepuh dengan gadis belia teman masa tuanya, jangan dikira Gabo menyajikan cerita romantik banal ala pengarang-pengarang romantisisme idealis periode awal abad kedua puluh. Bagaimanapun, ia menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tentang kegelisahan yang sepertinya dipikirkan semua manusia: ketakutan menjadi tua dan sendiri.

Kita bisa berspekulasi bahwa kisah roman ini mungkin saja hasil refleksi pikiran Gabo sendiri dalam menghadapi ketuaan. Ia menyelesaikan buku ini pada usia 77 tahun. Sepuluh tahun sebelum kematiannya pada tahun 2014. Tentu saja kita juga bisa mengajukan spekulasi yang lain terlepas dari aspek kepengarangan Gabo sendiri.  

Gabo menutup buku ini dengan kalimat penawar kesenduan sang sepuh melalui ucapan Rosa Cabarcas. “Tidak apa-apa kalau kau menjadi tua, tapi jangan jadi orang bodoh.” Dengan kata lain: jangan rendah diri merasa tak layak dicintai hanya karena usia yang sudah tua, karena cinta, konon, tak mengenal usia.

Telah tayang sebelumnya di: pocer.co

Comments

  1. Halo..

    Saya mau tanya di mana bisa beli buku ini? Penerbit nya apa ya?
    Suka dengan ulasannya dan membuat saya jadi ingin baca buku nya

    Thank you

    ReplyDelete
  2. Halo, salam kenal teh,
    Buku ini bias dibeli di sini: https://bukupocer.com/p/para-pelacurku-yang-sendu/ atau di sini: http://www.jualbukusastra.com/2017/01/katalog-sastra-nonsastra-januari-2017.html#more
    Penerbit Circa (Penerbit Indie di Jogja). Buku-buku seperti ini memang jarang di took buku jaringan seperti Gramedia atau Togamas, jadi harus beli di pelapak2 buku online. Tenang, dua pelapak buku di atas terpercaya kok, kalau nyari buku-buku sastra bagus atau klasik coba cari di mereka.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin buku

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam

Resensi Novel Divortiare

Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama Penulis                 : Ika Natassa Cetakan pertama : 2008 Halaman              : 328 Sinopsis Divortiare dibuka dengan cerita Alexandra Rhea -tokoh sentral novel ini sebagai aku- yang merupakan wanita karir sebagai relationship manager sebuah bank ternama di Jakarta, Alex – begitu ia disapa- baru baru saja pulang dari business trip ke daerah mengunjungi lokasi bisnis salah nasabah perusahaannya.Dalam perjalannanya pulang ke apartemennya ia menelpon Beno Wicaksono, dokter pribadinya, yang juga adalah mantan suaminya sejak dua tahun yang lalu. Alex meminta Beno yang bertugas di sebuah rumah sakit datang ke tempatnya karena ia merasa tidak enak badan semenjak dari tugasnya ke daerah.