“All things are
subject to interpretation” (Friedrich Nietzsche)
Hermeneutika
secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna. Penafsiran hermeneutika adalah pengungkapan makna kata-kata
yang tak terjelaskan dengan pendekatan tekstual, dijelaskan dengan unsur-unsur
kontekstual yang menyertainya. Karena sebuah teks tidak bisa lepas dari
kontekstual ketika teks itu lahir, sehingga pemaknaan kembali teks tersebut
pada konteks berbeda memerlukan penafsiran yang berbeda pula alias dinamis
mengikuti permasalah yang mendasarinya.
Penafsiran
hermeuneutika terlahir dari upaya menjelaskan metafora-metafora teks yang tak
terjelaskan jika dilakukan penafsiran tekstual per se. Ada banyak
ayat-ayat Qur’an yang jika ditafsirkan secara literal (tekstual) tanpa memahami
konteks yang mengiringinya, justru menjauhkan maknanya dari esensi Islam itu
sendiri. Oleh karena itu, dialektika yang terus menerus antar teks dan
kebudayaan menusia yang senantiasa berkembang pesat adalah sebuah keniscayaan.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Qur’an hanya akan menjadi benda mati
yang tidak berarti apa-apa dalam menjawab tantangan peradaban manusia. Atau, berpotensi
melahirkan sikap-sikap anarkisme dan radikalisme dalam tubuh agama.
Tidak
berhentinya penafsiran Qur’an dengan lahirnya ribuan kitab tafsir sejak Ibnu
Katsir, Fakhur Al-Razi hingga Hamka atau Quraish Shihab adalah bukti penafsiran
ulama atas teks Qur’an tidak pernah final seiring mengikuti zaman, dan akan
terus lahir kitab-kitab tafsir selanjutnya guna menjawab problematika kekinian
dan penyesuaian dengan konteks peradaban. Perbedaan penafsiran akan selalu ada
diantara ulama-ulama ahli tafsir, selain perbedaan metode penafsiran, konteks
zaman masa penafsiran juga sangat mempengaruhi hasil penafsiran. Selamanya,
penafsiran, tidak hanya teks, juga akan dipengaruhi oleh tradisi dan budaya
yang mempengaruhinya. Sebagai misal, manakala kaum muslim mengalami kekalahan
dalam perang salib, Sholahuddin
Al-Ayyubi beranggapan bahwa kekalahan diakibatkan umat Islam telah banyak
meninggalkan ajaran-ajaran Rasulullah karena rasa cinta mereka terhadap
Rasulullah dan Islam sudah menipis. Lantas ia memutuskan untuk mengadakan
perayaan maulid nabi secara besar-besaran guna membangkitkan kembali semangat
jihad umat Islam. Terbukti, setelah itu, dengan semangat jihad yang sedang
berkobar, pasukan Sholahuddin Al-Ayyubi
berhasil merebut kembali wilayah-wilayah Islam yang dikuasai pasukan Salib.
Puncaknya, ia membebaskan Palestina dengan gemilang tanpa pertumpahan darah.
Padahal, jika merujuk pada penafsiran tekstual ala Wahabi, jelas maulid nabi
adalah bid’ah yang mesti dijauhkan.
Dalam konteks
nusantara, kesuksesan penyebaran Islam di tanah Jawa dengan damai tentunya
dilatarbelakangi oleh pemikiran Walisongo yang dapat menyesuaikan dengan
konteks tradisi dan budaya masyarakat Jawa pada masanya. Sehingga dapat
mengakomodasi akulturasi budaya lokal dengan agama yang melahirkan ajara-ajaran
baru yang tak pernah ada dalam teks-teks
awal Islam, seperti tahlilan, halal bi halal, tujuh harian kematian, ziarah
kubur dan lain-lain yang tentunya tergolong bid’ah atau ajaran baru jika
merujuk kepada teks-teks literal. Contoh-contoh tersebut membuktikan bagaimana
penafsiran agama memang akan terus berkembang sesuai dengan dinamika sosial dan
budaya.
Hermeneutika
yang awalnya merupakan salah satu metode berpikir pada masa Yunani mulai
diterima sebagai penafsiran alkitab pada abad kelimabelas saat kritik internal
gereja mulai dilancarkan oleh Martin Luther. Kemudian teori-teori mengenai
Hermeneutika mulai terus bermunculan dari para sarjana barat. Salah satu metode
yang paling mencuri perhatian adalah metode dokunstruksi karya filsuf Prancis
Jacques Derrida. Ia menawarkan konsep mengungkapan makna teks dengan
menanggalkan aspek-aspek yang melekat padanya dan memaknainya dari setiap sisi
tersebut. Ia menentang logosentrisme yang mengekang bahasa pada makna tunggal.
Dengan dekonstruksi, ia memperlakukan teks secara kritis.
Sarjana Islam
kontemporer telah mulai menafsirkan teks-teks Al-quran dengan metode
hermeneutika sejak beberapa dekade terakhir. Muhammad Arkoun telah memulai
dengan bukunya “Rethinking Islam”,
kemudian dilanjutkan oleh Nashr
Hamid Abu Zayd dan Fazlur Rahman. Sayangnya, pendekatan penafsiran ini
belum dapat diterima secara luas oleh ulama konvensional. Mereka menduga ini
adalah bagian dari proyek kaum orientalis yang hendak menghancurkan Islam dari
dalam. Ini adalah bentuk siege mentality atau
defensive attitude yang beranggapan
akan selalu ada serangan dari orang-orang di luar kita. Padahal, kalau kita mau
merujuk kepada para pemikir terdahulu, sebenarnya penggalian makna teks melalui
pergesekannya dengan kontekstual yang menyertai, sudah dilakukan sejak awal
penafsiran Qur’an, yaitu melalui metode ta’wil
yang berarti mengembalikan ayat kepada makna yang dikandungnya.
Pelabelan cap
bid’ah, sesat, kafir atau semacamnya terhadap pemikiran baru dan pendekatan
penafsiran berbeda adalah bentuk penyangkalan upaya memahami agama dan usaha
menegasikan pemahaman yang berbeda. Dan hal tersebut telah berlangsung sejak
awal peradaban Islam. Bagaimana Al Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dituduh
sesat dengan ide-ide filsafat dan penafsiran barunya yang berbeda dengan paham
yang dominan saat itu. Atau Mansur Al-Hallaj yang mati di tiang gantungan
karena konsep sufistik Ana al-haq-nya.
Sementara itu, penafsiran dan pemahaman yang baru guna merespon masalah-masalah
kontemprer yang belum terjelaskan, atau realitas baru yang belum terlacak dalam
pandangan kacamata hukum yang lama adalah keniscayaan untuk menanggapi
peradaban manusia yang progresif. Ragam penafsiran Qur’an merupakan salah satu
budaya intelektual yang mesti terus digulirkan guna menghindarkan agama dari
kejumudan (kemandegan) berpikir.[.]
Comments
Post a Comment