Skip to main content

Traditional village of Takpala, Alor Island


I was so fortunate to have an opportunity to visit Traditional village of Takpala in Alor Island. It’s my forth times to visit this island, but at my previous trips I just explored the beaches. At this trip, one day before I left this island, I took my self to visit this internationally-well-known traditional village.


This village is located only about 20kms from capital of Alor regency, Kalabahi. I got there by riding a rented motorbike (Rp 50k/day) less than one hour. I enjoyed the views during my trip to this village. The road was well paved along the beach. Takpala village is perched at the top 300 meters high ridge facing to takpala bay. From the top of the hill, you can enjoy the cool breeze and an incredible view of the bay.

This Takpala village consists of 15 traditional Abui homes called rumah lopo. Thirteen of these homes, called kolwat, have no walls. The other two are, called kanuarwat by the locals, and only certain people are allowed to enter.

The thing that I noticed instantly was how gorgeous the architecture was. These traditional houses were so perfect. Clearly, the knowledge and expertise required to build these amazing houses was passed down from generation to generation. As I walked around, I noticed that all the villagers were changing from their day-to-day garb to some sort of special outfit. I ended up wearing their traditional outfits.

These local inhabitants still strictly practice their tradition and culture. The word “takpala” derived from the word “tak” means “barrier” and the word “pala” means “wood”. Therefore, Takpala can be described as “a wooden barrier”, but some would prefer to describe it as “a wooden bludgeon (beater)”.

The village of Takpala firstly known by European tourists since a Dutch tourist named Ferry exhibited his photographs capturing the life of local people of Takpala in 1973. He also made some of those photographs a calendar while promoting a primitive life in Alor Island.


















Comments

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin b...

Hegemoni Puisi Liris

(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum) Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena. Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif. Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam ...

Membaca Yuval Noah Harari

Oleh ST SULARTO  Kompas, 26 Oktober 2019  Yuval Noah Harari (sumber: wikipedia) Membaca tiga buku ”raksasa” karya Yuval Noah Harari (43) butuh waktu ekstra. Tidak bisa dibaca sambil lalu. Layak disebut ”raksasa” bukan hanya karena halamannya tebal, padat data, dan kelancaran bertutur yang menarik, melainkan terutama pada gagasan-gagasan provokatifnya. Melalui tiga buku yang ditulisnya itu, terutama buku Sapiens dan Homo Deus, Harari menjungkirbalikkan dalil-dalil ilmiah ataupun keyakinan agama yang selama ini sudah ditabalkan sebagai kebenaran di kalangan agama Yahudi dan Kristen. Ketika buku Sapiens terbit pertama pada tahun 2011 dalam edisi bahasa Ibrani, buku itu sempat membuat heboh. Sementara Sapiens dalam versi bahasa Indonesia terbit enam tahun kemudian, yakni pada tahun 2017 setebal 526 halaman. Buku itu mendapat sambutan hangat masyarakat. Belum genap dua tahun sejak kemunculannya yang pertama, Sapiens sudah cetak ulang delapan kali, sehingga pene...