Skip to main content

Hegemoni Puisi Liris




(disampaikan dalam diskusi online @biblioforum)

Secara sederhana puisi liris adalah gaya puitis yang menekankan pengungkapkan perasaan melalui kata-kata, dengan rima dan tata bahasa teratur yang terkadang menyerupai nyanyian. Subjektifitas penyair sangat menonjol dalam melihat suatu objek atau fenomena yang dilihatnya. Penyair liris menyajikan persepsi tentang realitas, meninggalkan ke samping objektivitas dan menonjolkan refleksi perasaannya atas suatu gejala atau fenomena.

Secara umum, perkembangan puisi liris adalah anak kandung dari kelahiran gerakan romantisisme pada seni pada awal akhir abad ke-18. Romantisisme lahir sebagai respon atas rasionalisme dan revolusi industri yang mulai mendominasi pada masa itu. Kala itu aliran seni lebih bercorak renaisans yang lebih menekankan melihat realita secara objektif.

Lirisme dalam puisi lahir sebagai akibat dari berkembangnya gerakan romantisisme yang menekankan glorifikasi atas kenangan indah masa lalu atau tentang alam sekitar sekitar. Menitikberatkan pada pengalaman estetik dan perasaan sentimental penyair. Puisi lirisme muncul sebagai bentuk pertentangan atas rasionalisme yang dibawa zaman pencerahan (enlightmen) yang muncul sebelumnya. Puisi Nothing Will Die karya Alfred Lord Tennyson yang ditulis pada 1830 dapat diambil sebagai contoh puisi liris yang muncul di awal pergerakan kebudayaan ini. Selanjutnya lahirlah Rabindranath Tagore, TS Eliot dan Wisliawa Szymborska, untuk menyebut beberapa nama penyair yang terkenal dengan gaya puisi lirisnya.

Pada perkembangan selanjutnya puisi liris telah menjadi hegemoni dalam kesustraan kita, bahkan dunia. Puisi liris lebih banyak diterima dan diapresiasi dibanding jenis puisi aliran lain. Mayoritas penikmat puisi lebih mudah memahami karya-karya Sapardi Djoko Darmono atau M. Aan Mansyur daripada puisi Afrizal Malna atau Sutarji Calzoem Bahri.

Di dalam negeri perkembangan puisi liris telah bermula sejak Muhammad Yamin, Amir Hamzah dan Rustam Effendi. Menurut Afrizal Malna, penyebab lirisme kian banyak diterima adalah ikut campur pemerintah dalam menentukan corak dan langgam seni budaya yang mesti dinikmati masyarakat. LIrisme adalah bahasa yang dipakai pemerintah untuk menancapkan kuku kekuasaannya. Pendirian Balai Pustaka pada 1917 adalah contoh mula bagaimana pemerintah kolonial masa itu mengatur sedemikian rupa jenis dan langgam bahasa yang boleh dipakai dalam literasi dan sastra. Penghapusan karya-karya berbahasa ‘Melayu Rendah’ adalah cara memberangus corak lain kesusastraan. Dengan demikian, pemerintah dalam lebih mudah mengontrol pesan-pesan yang disampaikan oleh seniman melalui karyanya.

Menurut Sapardi Djoko Damono, salah satu alasan mengapa puisi liris lebih disukai adalah karena bentuknya yang lebih mirip nyanyian. Puisi liris menekankan syair pada rima, tata kata dan irama. Hal tersebut sejalan dengan tradisi lisan yang dimiliki masyarakat tradisional Indonesia. Sehingga lebih mudah dimengerti dan diingat.

Meskipun demikian lirisme bukanlah hal mutlak yang mesti ada dalam sebuah puisi. Banyak penyair kontemporer kita yang tidak memakai perkakas lirisme dalam karyanya namun keindahannya sebagai puisi juga dapat dinikmati walau oleh lebih sedikit penikmat puisi. Sebagai misal, Sutardji Calzoem Bahri atau Wiji Thukul tidak memerlukan kemendayuan lirisme dalam menyampaikan pesan melalui puisi. Walau, tak dimungkiri, puisi liris lebih mudah dipahami dibanding puisi jenis lain.

Sebagai penutup, dalam ranah perpuisian Indonesia, puisi religi dianggap juga sebagai bagian dari ragam lain puisi liris. Jika puisi liris konvensional mengeksplorasi hubungan penyair dengan orang dan alam sekitar, maka puisi religi menyelami hubungan batiniah seorang hamba dengan sang pencipta. Kidung-kidung karya Taufik Ismail, Gus Mus, Cak Nun sampai Acep Zamzam Noor dapat dimaknai sebagai bentuk puisi religi yang mengadopsi lirisme ke dalam sebuah sajak.

Comments

  1. Hai teman blogger sekarang untuk menonton film sangat mudah, bagi pecinta drama korea sekarang bisa nonton di smartphone anda, cukup download MYDRAKOR di GooglePlay gratis, MYDRAKOR banyak film drama korea pilihan dan terbaru. MYDRAKOR.

    https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in

    https://www.inflixer.com/

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Daftar Penerima Penghargaan Sastra: Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2001-2018

Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku kiriman peserta yang diseleksi secara ketat oleh para dewan juri. Penghargaan bagi insan dunia sastra nasional ini bisa dibilang sebagai acuan pencapaian kesusastraan nasional pada tahun tersebut dan merupakan salah satu ajang penghargaan sastra paling prestisius di negeri ini.  Sebagai pembaca, seringkali saya menjadikan karya-karya yang termasuk ke dalam nominasi, baik shortlist maupun longlist, sebagai ajuan karya-karya bermutu yang wajib dibaca. Meskipun kadang-kadang karya yang masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, belum tentu best seller atau sukses dipasaran. Begitu juga dengan label bestseller pada halaman muka sebuah buku, tidak menjamin b...

Kiat Sukses Memahami ‘Kiat Sukses Hancur Lebur’

"pada akhirnya, mau lele atau ayam atau tempe atau soto, semuanya sama saja: meledak di jamban." (Bab VI: Arahan Seputar Budi Daya Lele, h. 154) Pada awal abad XX, ditengah berkecamuknya perang dunia I (1914-1918) di Eropa tumbuh suatu gerakan kebudayaan yang diprakarsai oleh para seniman dan budayawan guna menunjukkan sikap netralitas dan tak mau terlibat dalam suasana perang yang semakin berkecamuk dan mengerikan. Sebuah bar di swiss, Cabaret Voltaire, menjadi tempat berkumpul para budayawan dan seniman yang menggagas gerakan ini. Mereka menyebut gerakan yang mereka jalani dengan kata Dada , yang kemudian dikenal sebagai Dadaisme . Sikap perlawanan mereka bertujuan untuk tidak memihak atas seni dan budaya yang mulai dikotomis akibat perang karena kepentingan politik. Mereka tidak mau terikat dalam batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu seni dan kebudayaan. Awalnya gerakan ini meliputi seni lukis dan visual, kemudian meluas ke ranah kebudayaan...