Skip to main content

Posts

REKONSTRUKSI ASAL-USUL ISLAM DARI KACAMATA REVISIONIS

      “What can be asserted without evidence can also be dismissed without evidence.” (Christopher Hitchens)   Besar kemungkinan Islam yang kita lihat sekarang ini dijalankan oleh umatnya tidak persis sama, jika tidak ingin dikatakan jauh berbeda, dengan Islam saat pertama kali muncul ke panggung sejarah di jazirah Arab pada masa Nabi Muhammad dan generasi setelahnya. Atau bisa jadi nama Islam itu sendiri muncul jauh lebih belakangan setelah pembawanya tiada. Hal demikian tidak berbeda sebagaimana halnya agama-agama lain seperti Kristen atau Buddha. Dan seperti agama-agama lainnya, Islam berkembang (berevolusi) secara gradual untuk mencapai bentuk yang kita kenal saat ini selama berabad-abad, lebih lama ketimbang yang kita bayangkan. Itulah beberapa wacana pokok yang ditawarkan oleh sarjana revisionis terkait awal mula kemunculan Islam sebagai agama dan ideologi negara. Kajian revisionis awalnya dipakai sebagai pisau bedah dalam kesarjanaan agama Kristen dan Yahudi dalam meng
Recent posts

Membaca Yuval Noah Harari

Oleh ST SULARTO  Kompas, 26 Oktober 2019  Yuval Noah Harari (sumber: wikipedia) Membaca tiga buku ”raksasa” karya Yuval Noah Harari (43) butuh waktu ekstra. Tidak bisa dibaca sambil lalu. Layak disebut ”raksasa” bukan hanya karena halamannya tebal, padat data, dan kelancaran bertutur yang menarik, melainkan terutama pada gagasan-gagasan provokatifnya. Melalui tiga buku yang ditulisnya itu, terutama buku Sapiens dan Homo Deus, Harari menjungkirbalikkan dalil-dalil ilmiah ataupun keyakinan agama yang selama ini sudah ditabalkan sebagai kebenaran di kalangan agama Yahudi dan Kristen. Ketika buku Sapiens terbit pertama pada tahun 2011 dalam edisi bahasa Ibrani, buku itu sempat membuat heboh. Sementara Sapiens dalam versi bahasa Indonesia terbit enam tahun kemudian, yakni pada tahun 2017 setebal 526 halaman. Buku itu mendapat sambutan hangat masyarakat. Belum genap dua tahun sejak kemunculannya yang pertama, Sapiens sudah cetak ulang delapan kali, sehingga penerbit Kepu

NYANYIAN PAGI, SYLVIA PLATH

Cinta membawamu pergi seperti arloji emas yang tambun Seorang bidan menampar telapak kakimu dan tangismu yang polos mengambil beberapa tempat kosong Suara kita bergema. Membesarkan kedatanganmu. Sebuah patung yang baru. Di dalam sebuah museum yang berangin, kau telanjang Bayang - bayang kita terselamatkan. Kita berdiri telanjang bulat seperti dinding.

Menelusuri Sejarah Manusia dalam Bedil, Kuman dan Baja (Guns, Germs & Steel)

sumber gambar: gramedia.com “Kenapa kalian orang kulit putih membuat begitu banyak barang berharga dan membawanya ke Papua, tapi kami orang kulit hitam memiliki begitu sedikit barang berharga milik sendiri?” “Mengapa peradaban dunia didominasi oleh orang-orangkulit putih   Eropa, bukan oleh orang-orang suku Aborigin Australia atau orang kulit hitam Afrika? Mengapa Inggris, Jerman dan negara Eropa lainnya lebih maju daripada Kenya atau Papua New Guinea?” Itu adalah beberapa pertanyaan yang menjadi alasan utama kenapa buku ini, Bedil, Kuman & Baja (BKB), ditulis oleh Jared Diamond, seorang polymath dan professor Geografi di UCLA. Pertanyaan pertama diajukan oleh Yali, seorang Papua yang ia kenal sewaktu melakukan penelitian evolusi burung di pedalaman Papua. Sehingga bab pertama buku ini diberi judul Pertanyaan Yali, dan dari pertanyaan inilah semua bermula. Jared Diamond, dengan latar belakang keilmuan yang begitu luas, mulai dari geografi, evolusi biologi, antr

7+1 buku terbaik 2018

  Ada banyak peristiwa penting dalam dunia literasi yang terjadi di sepanjang tahun 2018. Buku-buku baru yang menarik dan mencuri perhatian terlahir dari rahim para penulis, fiksi maupun non-fiksi, menambah-nambah tumpukan To Read di rak buku pembaca. Namun, tahun 2018 adalah tahun paling tidak produktif bagi saya, dalam hal baca dan menulis. Sepanjang tahun Anjing Tanah itu saya hanya mampu menyelesaikan sekitar 30-an buku, baik cetak dan elektronik. Tulisan pun demikian. Tidak banyak tulisan-tulisan baru yang saya terbitkan di blog ini, maupun target menulis yang lain. Mungkin terlalu banyak waktu saya habiskan buat scroll timeline sosmed  ataustalkingsosmedmantan.  Begitulah. Meski demikian, dari 30-an buku yang saya baca, baik fiksi maupun non-fiksi, saya mendapatkan pengalaman membaca yang tidak kalah menarik dan berharga dibanding tahun-tahun lampau. Berikut adalah buku-buku terbaik yang saya baca sepanjang 2018. Diurutkan secara acak, fiksi dan non-fiksi.

Memahami Cinta dan Seks dengan Kacamata Sains

(Sumber gambar: Goodreads.com) Detail Buku Judul: Why Men Want Sex and Woman Need Love Penulis: Allan & Barbara Pease Penerjemah: Katisha Penerbit: Gramedia Tebal: 396 hlm Cetakan I: Maret 2010 Cetakan III: Maret 2018 “Cinta adalah reaksi kimia yang terjadi di otak manusia.” Jangan terprovokasi oleh judul buku ini dan menganggapnya sebagai kumpuan tulisan cabul semata. Buku ini bukan dimaksudkan hanya untuk menelanjangi kehidupan senggama manusia sebagai makhluk hidup. Dengan pisau bedah sains, diantaranya biologi dan psikologi, pasangan penulis laris ini mendedahkan bagaimana perbedaan perilaku cinta dan seksual antara laki-laki dan perempuan. Cinta mungkin adalah salah satu   perihal yang terus dipertanyakan sejak nenek moyang kita ada. Apa itu cinta? Bagaimana ia bekerja? Bagaimana seseorang menemukan belahan jiwanya? Apa hubungan cinta dengan kehidupan seksual kita? Dan sebagian besar jawaban dari pelbagai pertanyaan tersebut diliputi oleh kisah-

Kebudayaan: Ilmu dan Kerja

Oleh:  NIRWAN DEWANTO Kompas, 15 Desember 2018 Tanpa kecuali, semua orang hidup di dalam ranah kebudayaan, yaitu tatanan nilai dan perilaku yang kita warisi dan kita wariskan melalui—terutama—pengasuhan dan pendidikan. Namun, kita tidak hanya hidup bertindak di dalamnya, tetapi juga memperbincangkannya, mempertengkarkannya, berebut tentang apa yang benar tentangnya, terutama apabila kita berurusan tentang identitas, ”jati diri”, sesuatu yang kita percayai dapat membuat kita tidak hilang lenyap di tengah samudra perubahan. Di lingkup pewacanaan tentang ”kebudayaan” ini, kita dapat mengancang adanya tiga golongan besar: yaitu kaum apologis, kaum kritis, dan kaum skeptis. Kaum apologis mengatakan bahwa kebudayaan kita (kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah, misalnya) tidak bisa keliru. Apabila kebudayaan kita berubah (katakanlah karena desakan kapital dan teknologi yang mendunia), yang berubah hanya kulit-kulitnya belaka, sementara inti-intinya bertahan tetap. Katak